Follow Us On

Persinggahan “Si Kutu Buku” di Banda Neira

11

Tahukah kamu berapa banyak buku yang dibawa Mohammad Hatta saat diasingkan oleh kolonial Belanda ke Banda Neira, Maluku Tengah, 85 tahun silam?

Ya, 16 peti!

Demikian dikisahkan oleh Des Alwi, sejarawan, diplomat, penulis dan advokat Indonesia dari Kepulauan Banda, dalam bukunya, Sejarah Banda Neira, Ternate, dan Ambon.

Lebih lanjut, Des Alwi menceritakan kedatangan sang negarawan dan ekonom bersama Sutan Sjahrir di dermaga Zonnegat, Banda Neira, dengan kapal Fommal Haut, pada Februari 1936.

Semula, Hatta dan Sjahrir tinggal (menumpang) di rumah keluarga Cipto Mangunkusumo, dokter yang dijadikan tahanan politik dan dibuang ke Banda Neira pada tahun 1926.

Namun tak lama, Hatta dan Sjahrir memutuskan untuk hengkang. Hatta menyewa rumah milik perkenier De Vries, sedangkan Sjahrir menyewa paviliun di rumah induk keluarga Baadillah.

Nah, di rumah pengasingan inilah terdapat peninggalan Hatta: koleksi buku yang hingga kini masih terpajang rapi di lemari. Buku-buku tersebut dibawanya dari penjara Boven Digoel, Papua, ke Banda Neira.

Si Kutu Buku Jadi Guru

Lalu, apa yang dilakukan Si Kutu Buku selama berada di pengasingan di Banda Neira? Benarkah hanya membaca dan membaca? Tentu saja tidak.

Sebagaimana dinarasikan oleh Des Alwi dalam bukunya, Bersama Hatta dan Sjahrir di Banda Neira, baik Hatta maupun Sjahrir sama-sama gemar berbagi ilmu pengetahuan.

Keduanya mendirikan sekolah sore untuk anak-anak di Banda Neira yang kurang mampu secara ekonomi. Lokasi sekolah sore Hatta di beranda belakang tempat tinggalnya yang cukup luas.

“Setelah akrab dengan beberapa keluarga di Banda, oom Hatta dan oom Sjahrir menyelenggarakan sebuah sekolah yang dilaksanakan pada sore hari dengan tidak memungut bayaran bagi anak-anak Banda Neira yang tidak bersekolah,” Des Alwi menuliskan.

Adapun yang diajarkan oleh Hatta kepada anak-anak, meliputi pelajaran membaca, menulis, aritmatika, dan bahasa Inggris. Semuanya disampaikan dalam bahasa Belanda.

Peninggalan Si Kutu Buku

Selama berada di Banda Neira, dalam kurun 1936-1942, Hatta dikenal jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Sebaliknya, ia sangat akrab dan peduli dengan anak-anak yang menjadi muridnya di sekolah sore.

Hatta ingin mengisi masa pengasingan—kurang lebih enam tahun—dengan kegiatan yang berguna bagi masyarakat, terutama anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Pada 1 Februari 1942, Hatta dijemput secara mendadak oleh kolonial Belanda untuk dibawa ke Jawa. Sepeninggal Hatta, nyaris tidak ada perubahan berarti di rumah pengasingannya.

Mesin tik tua masih ada di ruang kerja. Begitu pula koleksi buku di lemari, serta koleksi foto diri dan keluarga masih tersimpan dan tertata rapi.

Perabotan meja dan kursi-kursi kuno tetap utuh di ruang tamu. Tak terkecuali ranjang di ruang tidur yang dilengkapi dengan kelambu untuk mencegah dari gigitan nyamuk.

Sungguh sebuah rumah nan apik di pulau yang cantik. Tak heran bila Hatta suatu kali pernah menyatakan, Banda Neira adalah tempat persinggahan yang nyaman.

Penulis dan foto: Dian Indani, warga Banda Neira

Editor: Vega Probo

 

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Leave a Reply