Dari kiri ke kanan: Dedi Nahumaruy (40 thn), Juhria Harun (50 thn), dan Nursia Sadimin (47 thn) warga Banda Neira. Mereka berdarah Ambon. (Hartabanda/Aldi)
Wajah Banda Neira adalah wajah bhineka. Tak percaya? Datang saja ke pusat keramaian macam pasar atau pelabuhan, dan lihatlah wajah-wajah Ambon manise berbaur dengan wajah-wajah khas Tionghoa, Arab, Buton, Sumatera, Jawa, Indo, dan lain-lain.
Ternyata, beberapa literatur menyebutkan, sebagian besar masyarakat yang tinggal di Banda Neira memang bukan asli lokal, melainkan para pendatang. Mereka datang, bekerja, dan berkeluarga, hingga lahir generasi-generasi dengan ras yang beragam.
Lalu, siapakah pribumi Banda Neira? Sebagaimana tertulis di Hikayat Lonthoir, literatur kuno tentang asal muasal masyarakat di pulau di Maluku Tengah, penghuni pertamanya yaitu sepasang suami istri bernama Andan dan Dalima. Keduanya dianugerahi lima anak.
Lalu, di era berikutnya, orang-orang dari Jawa, Ambon, Sumatera, Buton, dan lain-lain mulai menjejakkan kaki di Banda Neira. Kemudian disusul kedatangan bangsa Tiongkok dan Arab, untuk berdagang dan menikah dengan warga lokal atau antarsuku.
Semula, kehidupan berjalan harmonis, namun menjadi “kacau” seiring kehadiran bangsa Eropa (Belanda, Inggris, Portugis), juga Jepang. Terlebih saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), persekutuan dagang asal Belanda, memonopoli aktivitas perdagangan di Indonesia, termasuk Banda Neira.
Para tetua mengisahkan secara turun temurun, betapa dahulu, VOC membawa budak-budak atau tahanan dari luar pulau untuk dipekerjakan sebagai petani pala. Hal ini berlangsung lama, bahkan hingga masa pendudukan Jepang.
Kini, sebagian perkebunan pala dimiliki dan dikelola oleh warga Banda Neira. Salah satunya, Pongky Van Den Broeke, pria keturunan Belanda yang disebut memiliki perkebunan pala terbesar di Banda, sekitar 12 hektare.
Sedangkan warga keturunan Tionghoa kebanyakan bermukim di Desa Nusantara bawah, yang disebut juga Kampung China. Nah, di Desa Nusantara atas rata-rata dihuni oleh warga keturunan Arab. Peleburan kedua ras pun memperkaya kebhinekaan di Banda Neira.
Salah seorang warga keturunan Arab-Tionghoa yang sangat kaya dan tersohor yaitu Said Tjong Baadilla. Dialah kakek dari Des Alwi, yang dikenal sebagai sejarawan, diplomat, penulis dan advokat Indonesia dari Kepulauan Banda.
Begitulah sekelumit kisah tentang kebhinekaan di Banda Neira. Keunikan wajah-wajah beragam ras juga dijumpai di pulau-pulau lain di Maluku Tengah. Salah satunya, wajah orang-orang keturunan Buton di desa Tanah Rata, Gunung Api, Pulau Ay dan Pulau Rhun.
Wajah Kepulauan Banda memang wajah bhineka.
Penulis: Sri Devi Ramadanti, warga Banda Neira
Editor: Vega Probo
Terlalu indah untuk dikenang dikemudian hari, salut 👍👍👍 bisa dijadikan contoh kebhinekaan untuk daerah lain 🙏🙏🙏