Follow Us On

Kisah Sang Pengelola Pala

11

Ukurannya rata-rata tidak lebih besar dari jempol orang dewasa. Tetapi pengaruhnya di mata dunia, terutama bangsa Eropa, sungguh luar biasa. Itula pala, rempah khas Kepulauan Banda, Maluku Tengah, yang masyhur.

Sejarah mencatat, bangsa Eropa menyerbu Kepulauan Banda, dan memerangi warga lokal, pada abad ke-16, demi menguasai pala. Karena si mungil ini memang istimewa: bisa dimanfaatkan sebagai bumbu, obat, dan bahan baku kosmetik.

Lambat laun, penguasaan atas pala di Kepulauan Banda memicu penjajahan bangsa Eropa di Indonesia. Mereka membangun perkotaan, lengkap dengan benteng, perumahan, dan perkantoran di Banda Neira untuk kepentingan perdagangan pala.

Kini, keadaan tak lagi sama. Indonesia telah merdeka, bebas dari cengkeram bangsa asing, sejak 76 tahun silam. Namun ironisnya, pamor pala asal Kepulauan Banda seolah menyurut. Si mungil bukan lagi primadona yang menjadi komoditas perkebunan.

“Ada beberapa faktor penyebabnya.” Demikian dikatakan oleh Sahirun Ishak, ketua Kelompok Tani Mekar Indah, Dusun Mangko Batu, Desa Rajawali, Kecamatan Banda.

Pertama, perkebunan pala kini tidak lagi terpusat di Kepulauan Banda saja, melainkan sudah menyebar di sejumlah daerah, di antaranya di Ternate, Maluku; dan Sulawesi Utara.

Kedua, beberapa waktu lalu, pala asal Kepulauan Banda sempat terkena penyakit seperti jamur akibat penggunaan bahan-bahan kimia: pupuk nonorganik. Akibatnya, minat konsumen dan pedagang terhadap pala asal Kepulauan Banda pun berkurang.

Ketiga, masalah kualitas. Semula, pada masa kolonial Belanda, semua pala asal Banda setelah dipanen, lalu dijemur dengan teknik pengasapan. Namun, beberapa dasawarsa terakhir, banyak petani di Kepulauan Banda yang enggan menjemur pala dengan teknik pengasapan menggunakan kayu bakar melainkan hanya mengandalkan sinar Matahari.

“Hasil kualitasnya jauh lebih baik dengan yang menggunakan cara pengasapan,” kata Sahirun, baru-baru ini.

Sahirun mengakui, teknik pengasapan ini memang lebih kompleks dibandingkan pengeringan dengan sinar Matahari. Teknik pengasapan jelas membutuhkan usaha lebih: harus mencari dan membeli kayu bakar dulu. Berbeda halnya dengan penjemuran pala yang relatif lebih simpel: memanfaatkan energi alam.

“Tapi hasilnya yang dijemur dengan sinar Matahari jauh lebih rendah kualitasnya,” kata Sahirun.

Keempat, masih banyak petani yang menjual pala yang masih muda. Padahal kualitas pala yang masih muda itu jauh lebih rendah dibandingkan pala yang sudah tua. “Ya, ini karena kebutuhan petani yang ingin segera dapat uang, tapi tak mengutamakan kualitas pala,” kata Sahirun.

Karena itulah, lanjut Sahirun, petani ingin kembali membangkitkan kejayaan pala asal Kepulauan Banda. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem perkebunan organik yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sejak empat tahun terakhir.

Menurut Sahirun, penggunaan pupuk organik yang berasal dari alam dan kotoran hewan membuat kualitas pala lebih baik. Tidak lagi berjamur atau berpenyakit.

Selain itu, dalam prosesnya, kelompok tani selalu didampingi oleh pihak penyuluh dari pemerintah agar selalu menggunakan pupuk organik. Sehingga kualitas pala yang dihasilkan betul-betul terjaga.

Meski upaya perbaikan terus dilakukan, termasuk dengan sistem perkebunan organik, harga pala masih menjadi masalah. Menurut Sahirun, saat ini, harga satu kilogram pala seharga Rp75.000. Ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan era hampir dua dekade lalu di mana harga pala per satu kilogram bisa mencapai Rp150.000.

“Karena itulah, saya berharap penggunaan sistem perkebunan organik ini membuahkan hasil dengan kualitas baik, harga pala seharusnya bisa naik,” kata Sahirun.

Sekalipun harganya agak anjlok, Sahirun berpendapat, panen pala masih bisa menyejahterakan petani. Di Pulau Banda Neira, ada dua kelompok petani pala yang masing-masing beranggotakan 25 orang. Masing-masing orang memiliki satu hektare. Setiap pohon bisa menghasilkan 250 kilogram untuk panen kecil dan 400 kilogram untuk panen besar.

Jika selama setahun petani bisa dua kali panen pala, terbayang kan, berapa besar keuntungannya? Pala memang istimewa dan luar biasa.

Penulis dan foto: Julkifli Satiran, warga Banda Neira

Editor: Vega Probo

 

 

 

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply