Akhirnya, sampai juga di artikel pamungkas yang mengisahkan tentang penaklukan Kepulauan Banda oleh kongsi dagang Belanda, lebih dari 400 tahun lalu. Kisah ini diungkap oleh Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya yang bertajuk Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609-1621 (2016).
Tujuan penaklukan kepulauan di Maluku Tengah ini, menurut Ittersum, tak lain demi memonopoli perdagangan rempah, terutama pala. Pelaku peristiwa kala itu membuat catatan yang cukup detail tentang pertempuran orang-orang kaya Banda dan kongsi dagang Inggris East India Company (EIC) melawan kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Tercatat, pada awal April 1617, sebagaimana diterangkan oleh Ittersum dalam kajiannya (2016), Laurens Reael, selaku Gubernur VOC di Maluku, tiba di Pulau Ai. Reael datang dengan membawa “surat sakti” dari Dewan 17 (pimpinan tertinggi VOC di Eropa). “Amunisi” tersebut diberikan oleh Steven van der Haghen, laksamana VOC di Benteng Victoria, Ambon, kepada Reael, pada awal Maret 1617.
Apa isi surat dari Dewan 17 yang ditujukan kepada pimpinan VOC di Hindia tersebut? Tak lain: izin untuk menggunakan kekerasan dalam melakukan monopoli perdagangan rempah. Jadilah pada Maret 1617, Cornelis Dedel (yang memimpin tiga kapal Belanda ke Banda) bersama Jaspar Janssen (konselor Hindia) menyerang posisi Inggris di Pulau Run, namun mengalami kegagalan.
Sebulan kemudian, pada awal April 1617, Reael bertemu pasukan yang dipimpin oleh Dedel dan Janssen di Kepulauan Banda. Selanjutnya, “tiga serangkai” Reael, Dedel, dan Janssen memutuskan untuk menghentikan serangan lantaran memakan banyak korban di pihaknya. Apalagi orang-orang Banda juga sudah menyerah akibat pengepungan VOC selama lebih dari sepuluh bulan.
Ya, pertempuran memang harus dihentikan, karena bagaimanapun Belanda membutuhkan penduduk setempat dan pedagang dari Asia untuk menjalankan produksi rempah di Kepulauan Banda. Hal ini tertuang dalam surat yang dilayangkan oleh Reael dan Dedel kepada Direktur VOC di Amsterdam, Belanda, tertanggal 10 Mei 1617. Sejalan dengan itu, pihak Belanda juga merilis peraturan.
Isi peraturan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Ittersum (2016): Pertama, penduduk Banda dilarang berhubungan dengan dunia luar tanpa seizin dan sepengetahuan pihak VOC. Ke-dua, selama masih dalam pengepungan VOC, Pulau Run tidak dapat dikunjungi oleh siapa pun dan dari mana pun. Belanda membutuhkan Banda sekaligus mengekang penduduknya.
Negosiasi antara VOC dan EIC
Sebetulnya, bukan kali ini saja pihak asing menghentikan pertempuran dan mengupayakan negoisasi atau perundingan (damai). Sebulan sebelum peraturan itu dirilis, menurut Ittersum (2016), Reael (VOC) dan Courthope (EIC) telah melakukan negoisasi. Philip Zuerius, sekretaris pribadi Reael, menyusun dokumen negosiasi sebanyak dua rangkap, masing-masing untuk pihak Belanda dan Inggris. Kini, dokumen tersebut disimpan di Arsip Nasional Britania Raya di Kew, Richmond.
Semua berawal ketika Courthope mengirim utusan ke Banda Neira untuk menuntut pengembalian kapal Defence, pada 2 April 1617, namun langkahnya terhadang hanya sampai di Banda Besar. Pada saat yang sama, terjadi negosiasi perdamaian antara VOC dan orang-orang kaya Banda. Dua hari kemudian, utusan VOC mengunjungi Pulau Run untuk melakukan negosiasi, tetapi diusir oleh Courthope karena khawatir akan terjadi pemberontakan.
Sebelumnya, Courthope sudah diminta untuk bekerja sama dengan pihak VOC serta menyerahkan urusan kepemilikan Pulau Run melalui proses hukum di Eropa. Permintaan itu disampaikan secara tertulis oleh Davis, kapten kapal Swan yang dipenjara di Banda Neira. Tetapi, menurut Ittersum (2016), Courthope menganggap surat itu tak lebih dari propaganda pihak VOC.
Sepekan kemudian, pada 9 April 1617, Courthope menerima surat dari Reael. Intinya, mengingatkan tentang Hukum Kodrat yang menjadi acuan bagi pegawai-pegawai VOC untuk menolak keterlibatan pihak Inggris di Kepulauan Rempah. Meskipun di sisi lain, Pemerintah Belanda dan Inggris sejatinya menjalin persahabatan yang baik.
Untuk diketahui, Hukum Kodrat adalah Filsafat Hukum yang dikembangkan pada Masa Yunani Kuno yang dibangkitkan lagi oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13, serta filsuf-filsuf di Spanyol pada abad ke-16, kemudian disempurnakan oleh tokoh berkebangsaan Belanda, Hugo Grotius, pada abad ke-17.
Secara tertulis, Reael juga memohon kepada Courthope untuk melihat posisinya dan mencegah pertumpahan darah. Pihak Belanda, menurut Reael, tidak akan memberikan hak monopoli perdagangan rempah di Banda kepada negara lain, mengingat betapa besar harga yang telah dibayar untuk memperolehnya. Lebih lanjut, Reael mengajak Courthope untuk perundingan damai yang lebih baik.
Courthope baru membalas surat tersebut tiga hari kemudian. Ia menyatakan bersedia berunding di Banda Neira jika VOC menyerahkan dua orang di Pulau Run sebagai ganti selama ia dan rekannya, Spurway, berunding di Benteng Nassau, Banda Neira. Berikutnya, pada 17 April 1617, Reael dan Courthope melakukan negosiasi di Benteng Nassau, Neira. Perundingan tersebut berjalan alot lantaran masing-masing pihak saling tuduh.
Reael tidak sanggup melakukan persuasi terhadap Courthope untuk meninggalkan Pulau Run, karena menurut Courthope, hal itu sama saja dengan melakukan pengkhianatan terhadap Raja dan negaranya, karena masyarakat Pulau Run telah menyerahkan kedaulatan kepada Raja James I dari Inggris.
Perundingan tersebut berakhir buntu dengan Courthope menjanjikan untuk memberikan jawaban dalam waktu dekat. Reael memaksa Courthope untuk menandatangani dokumen yang menjelaskan bahwa ia telah diberikan tawaran untuk hengkang secara baik-baik dengan membawa serta kapal Swan dan Defence jika ia bersedia meninggalkan artilerinya di Pulau Run dan angkat kaki dari Kepulauan Rempah.
Di perundingan tersebut, menurut Ittersum 2016, Courthope juga menemui Davis sebagai perwakilan tawanan dari pihak Inggris, namun pertemuan tersebut justru menegaskan perlawanan Inggris di Pulau Run.
Surat dari Sultan Ternate
Apakah hanya pihak asing saja yang mengupayakan perundingan damai? Tidak juga. Karenaorang-orang kaya Banda pernah mengirimkan surat kepada Sultan Mudaffar dari Ternate, pada 1616, yang disampaikan melalui Cimelaha Sabadin, Gubernur Sultan Ternate di Seram. Surat tersebut berisikan permohonan kepada Sultan untuk melakukan mediasi atas konflik yang memburuk dengan VOC di Banda.
Lalu, bagaimana reaksi Sultan? Dalam surat balasannya yang dilayangkan pada April 1617, menurut Ittersum (2016), Sultan mengajak orang-orang kaya di Banda Besar dan pulau lain (yang kemudian dikenal sebagai Pulau Hatta) untuk berdamai dengan VOC. Penduduk Pulau Run yang bekerja sama dengan Courthope juga menerima surat tersebut dari awak perahu dari Ternate yang mengirimkan bahan makanan berupa sagu.
Selanjutnya, orang-orang kaya di Pulau Run menulis surat balasan kepada Sultan. Intinya, mereka menginginkan perdamaian dengan VOC dan tak ambil pusing urusan orang Eropa di kehidupan mereka. Namun mereka juga tidak bisa mengusir orang Inggris yang telah memperlakukan orang Pulau Run dengan baik. Orang-orang kaya Banda, menurut Ittersum (2016), lebih suka untuk berdagang dengan dua negara dibandingkan satu negara, sehingga mereka dapat mengendalikan perdagangan rempah.
Kemenangan vs Kekalahan
Hingga 1620, baku tembak masih terjadi. Puncaknya, pada Oktober tahun yang sama, Courthope ditembak mati oleh prajurit VOC. Kala itu, sang pimpinan kapal Swan dan Defence—dalam misi ekspedisi Inggris—baru saja kembali dari Banda Besar untuk membawa perbekalan dengan perahu kecil. Sepeninggal Courthope, perlawanan oleh anak buah dan orang-orang di Pulau Run tetap berlanjut.
Persaingan antara dua kubu kian sengit, hingga menyebabkan korban dan kerugian yang sangat besar bagi orang-orang Banda. Pertama, kubu VOC dan orang kaya di Banda Neira serta Banda Besar. Ke-dua, kubu EIC dan orang kaya di Pulau Run. Peperangan dan perjanjian-perjanjian antara orang-orang Banda dengan VOC dan EIC menelanjangi kemerdekaan orang-orang Banda sendiri.
Sementara di mata orang Eropa, perjanjian antara mereka dengan orang pribumi tidak pernah dipandang setara. Courthope memang membantu orang Banda untuk melawan VOC, namun menurut Ittersum (2016), harga yang harus dibayarkan oleh orang Banda kepada Inggris sangatlah mahal. Betapa tidak, orang Banda harus menjual rempah secara eksklusif kepada Inggris. Selain itu, orang Banda juga harus menyerahkan kedaulatan Pulau Run kepada Raja James I. Mau tak mau penduduk Pulau Run menjadi hamba Raja Inggris.
Meski begitu, sebetulnya pihak EIC tidak dalam posisi yang menguntungkan dalam persaingan dengan VOC memperebutkan perdagangan rempah di Nusantara, baik di Kepulauan Banda maupun di kantor dagangnya di Banten. Apalagi gempuran VOC juga tidak main-main. Sebagaimana telah dibahas di artikel Bagian 1, pada Februari 1621, armada VOC yang didukung 16 kapal perang dan seribu tentara dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen tiba di Kepulauan Banda. Sontak harapan orang Pulau Run dan EIC pun sirna.
Coen menaklukkan Kepulauan Banda sekaligus memberangus penduduknya. Sebanyak 48 orang kaya ditangkap, diadili, dan dieksekusi. Tak kurang 800 orang anggota keluarga mereka, termasuk orang tua, perempuan, dan anak-anak dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak. Pasca konflik tersebut, jumlah penduduk Kepulauan Banda menyusut drastis dari kira-kira 15.000 orang menjadi sekitar 1.000 orang.
Kajian The Dutch and English East India Companies (2019) yang disusun oleh Tristan Mostert menerangkan, bahwa tanah-tanah di Kepulauan Banda dibagi-bagi menjadi perkebunan-perkebunan yang dipimpin oleh seorang perkenier atau pengusaha kebun yang rata-rata pegawai VOC. Budak-budak didatangkan dari berbagai daerah Nusantara dan Asia Tenggara ke Kepulauan Banda untuk mengerjakan kebun-kebun pala.
Perburuan Rempah Jadi Peleburan Budaya
Demikian kisah pala Banda yang masyhur hingga memagnet berbagai bangsa untuk menjejakkan kakinya di wilayah Nusantara. Kedatangan bangsa asing di pulau-pulau kecil di Banda tak sekadar mengukirkan sejarah, melainkan juga mempertemukan suku, agama, budaya, yang sangat berdampak bagi kehidupan hingga saat ini.
Di satu sisi, perburuan rempah tersebut memperkenalkan masyarakat Nusantara kepada masyarakat Islam dunia dan budayanya. Dan di sisi lain, perburuan rempah juga memperkenalkan kita kepada masyarakat Renaisans Eropa dan budayanya.
Perdagangan rempah telah mewarnai sejarah dunia secara global, sehingga Nusantara—sebagai salah satu produsen rempah—turut memainkan peran penting.
Perdagangan rempah mendorong sejarah penting pencapaian umat manusia yakni pelayaran jarak jauh dari Eropa ke Benua Amerika oleh Columbus dan menuju Afrika serta jalur menuju Nusantara oleh Vasco da Gama pada abad ke-16. Rangkaian peristiwa tersebut menghasilkan etika ekonomi perdagangan bebas, kolonialisme, dan kapitalisme. Demikian isi kajian Phytoliths in Pottery Reveal the Use of Spice in European Prehistoric Cuisine (2013), yang disusun bersama oleh Saul, Hayley, Marco Madella, Anders Fischer, Aikaterini Glykou, Sönke Hartz, dan Oliver E. Craig.
Senada pemikiran Christopher Falkus dalam tulisannya Life in The Age of Exploration (2001) yang dimuat di Reader’s Digest rilisan New York, bahwa era eksplorasi yang dipelopori oleh masyarakat Eropa tersebut dimotori oleh perdagangan rempah dan logam mulia, sehingga tak berlebihan jika perdagangan rempah berandil sebagai pendorong globalisasi.
Harus diakui, rempah tak hanya mendatangkan nestapa peperangan, kematian dan kerugian, melainkan juga kemajuan. Begitu berhasratnya masyarakat Renaisans Eropa terhadap pala justru mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk saling bersaing memperebutkan rempah hitam manise ini.
Dampak besarnya: tanpa perburuan rempah, mungkin tidak akan tercipta sistem perdagangan bebas atau kapitalisme. Tanpa kapitalisme, mustahil tercipta masyarakat modern karena seluruh sumber daya dipegang oleh kekuasaan raja. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan anak dari sistem kapitalisme dan pasar bebas. Secara makro, dapat pula kita katakan bahwa kemajuan dunia ini didorong oleh Kepulauan Banda dan harta di dalamnya.
Penulis: Yosua Pasaribu, arkeolog, domisili di Tangerang Selatan
Editor: Vega Probo