Ada sebuah tradisi istimewa di tempat tinggal kami di Desa Rajawali, Banda Neira, Maluku Tengah. Kalau di tempat tinggalmu ada juga, kah? Apa namanya? Kalau di tempat kami namanya, tradisi Bulan Terang, yang diadakan saat bulan purnama untuk mengisi Labarang Tujuh Hari dalam rangkaian Hari Raya Idul Fitri.
Adalah ibu dan nenek yang mengenalkan saya pada tradisi tahunan ini. “Kurang musti kasi nama Bulan Terang deng Bulan Terang itu ada banyak suku bangsa [Kenapa harus dinamakan Bulan Terang dan Bulan Terang itu terdapat beberapa suku bangsa]?” saya bertanya kepada nenek saya yang bernama indah, Fajariah Subuh.
“Barang waktu dolo-dolo katong barmaeng waktu bulan purnama dan dalam setiap lirik lagu ada yang berbahasa asing, bahasa Belanda [Karena waktu itu masyarakat memainkan Bulan Terang itu pada saat malam yaitu bulan purnama dan dalam tradisi ini ada banyak menggunakan bahasa asing, salah satunya bahasa Belanda],” kata nenek.
Saya bertanya lagi, “Apa tempo katong maeng Bulan Terang ini [Kapan kita mulai bermain Bulan Terang ini]?” Dan beliau pun menjawab, “Katong mulai dari amper malam sampe amper siang [Kita mulai menari mulai dari pukul delapan malam sampai selesai salat subuh].” Ya, kesenian rakyat ini memang menyuguhkan tarian dan nyanyian.
Sesuai namanya, tarian Bulan Terang memiliki beberapa formasi yang menyerupai bentuk bundar atau lingkaran sebagaimana bentuk bulan purnama jika dipandang dari Bumi, tempat kita berpijak. Sedangkan nyanyiannya merupakan campuran dari berbagai macam bahasa. Ada pula lagu-lagu tradisional atau khas lokal.
Tradisi Bulan Terang diadakan untuk menjalin dan mempererat persahabatan antarsuku di Desa Rajawali. Karena itu, warga sangat antusias, bersorak gembira menyambut datangnya bulan purnama. Lalu, meluapkan suka cita dengan memainkan Bulan Terang, juga untuk menjaga persatuan dan kesatuan di Desa Rajawali.
Agar tak punah, permainan Bulan Terang dikembangkan menjadi kesenian rakyat yang rutin dipentaskan pada hari ke-tujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Aturan terkait agenda tahunan ini telah ditetapkan oleh pemerintah Desa Rajawali, dengan pendanaan yang dianggarkan secara khusus. Tak lain demi menjaga kelestarian tradisi warisan leluhur.
Tradisi Bulan Terang sudah ada sejak dahulu kala dan biasa dimainkan oleh beberapa suku di Desa Rajawali (sebelumnya bernama Kampung Coen). Lazimnya, tradisi ini diawali dengan ziarah ke makam leluhur untuk meminta izin. Lalu, saya dan warga desa yang kebagian tugas sebagai penari melakukan latihan jauh sebelum Hari-H.
Hari pertama latihan nyanyi, mulai pukul empat sore. Pengajarnya? Ibu saya sendiri, Asma Basir. Kami melagukan bait demi bait dengan diiringi instrumen musik tifa dan gong. Setiap lirik lagu memilki gerakan atau koregrafi berbeda. Nah, soal koreografi, pengajarnya adalah nenek saya yang layak dijuluki “ensiklopedia berjalan Bulan Terang.”
Baik ibu maupun nenek sama-sama bersuara merdu. Senang melihat keduanya bernyanyi diiringi tifa dan gong. Sebaliknya, mereka “gemas” melihat kami: “E su ajar bagini lama balom tau lai kamorang ini macam orang tar skolah jua e [Sudah latihan begini lama tapi tidak tahu menyanyi juga, kalian seperti orang yang tidak pernah bersekolah)!”
Meskipun kerap ditegur oleh ibu dan nenek, kami tidak menyerah dan terus berlatih menyanyikan setiap lirik lagunya. Setelah hafal semua lagu, barulah kami berlatih tari. Gerakannya sederhana: kami saling berpegangan tangan sambil menggoyangkan badan ke kiri dan kanan. Berikutnya, kami berlatih nyanyi sekaligus tari.
Bulan Terang memang digarap serius: ada para peserta yang rajin berlatih, juga ada panitia yang sibuk mempersiapkannya. Selain ibu dan nenek, sanak keluarga yang terlibat di dalam kepanitiaan, yaitu Ismail Husin, selaku Kepala Pemerintahan Negeri Administrasi (KPNA) Rajawali. Beliau adalah adik ayah saya, Saman Kaimen.
Seluruh panitia—dari seksi perlengkapan, konsumsi, sampai acara—menjalankan tugas masing-masing. Seksi perlengkapan menyiapkan lokasi, kostum, dan alat pengeras suara. Seksi konsumsi mengurus hidangan untuk para tamu. Seksi acara menyusun segala kegiatan dari awal sampai berakhirnya kegiatan tersebut.
Tiba saatnya, Hari-H, tampak bulan purnama yang sempurna: (bulat) bundar dan benderang. Seolah menerangi Desa Rajawali yang sedang menggelar hajat, membuat suasana malam sangat indah. Tambah lagi sorotan beberapa lampu besar serta ornamen yang menghiasi panggung. Acara tahunan ini jadi kian semarak.
Sebelum acara dimulai, terlebih dahulu Camat Banda Kadir Sarilan dan Kepala KPNA Rajawali Ismail Husin memberikan kata sambutan. Berikutnya, panitia menyampaikan laporan kegiatan, kemudian disambung pembacaan doa oleh H. Hasem Abdullah, imam Masjid An-Nur, Desa Rajawali, yang juga tetangga saya.
Usai berdoa bersama, kami—para pengisi acara—bersiap-siap di belakang panggung. Terdengar suara pemandu acara atau MC. “Alkisah,” MC menuturkan kisah tentang Bulan Terang, “dahulu kala, di Kerajaan Rajawali, tinggallah seorang raja yang menginginkan sang pangeran kecil kelak mewarisi takhta kerajaannya.”
Kisah pun berlanjut, “Ketika permaisuri mengandung, raja berkata, ‘Jika bayi yang dilahirkan adalah laki-laki, maka raja akan menaikkan bendera sebagai tanda kejayaan. Namun jika bayi yang dilahirkan adalah perempuan, maka bayi tersebut akan disingkirkan dari dunia, dan sebagai buktinya permaisuri harus menyerahkan jantung bayi itu.’”
“Namun,” MC meneruskan, “takdir berkata lain: permaisuri melahirkan anak perempuan yang cantik jelita. Raja kecewa, hendak memakan hati dan jantung putri. Untung sebelum hal itu terjadi, permaisuri membawa putrinya ke Gunung Duri, lalu ia kembali ke istana dengan membawa hati dan jantung burung untuk diserahkan kepada raja.”
Ah, ternyata kisah Bulan Terang cukup panjang. MC menambahkan, “Burung peliharaan istana berkata kepada raja, bahwa seserahan itu bukan hati dan jantung putri, melainkan burung. Raja pun memerintahkan putri untuk pergi dari Gunung Duri dan kembali ke istana, tetapi putri menolak lantaran ingin terlebih dahulu membuat kain salampuri.”
“Proses pembuatan kain salampuri sangat lama,” kata MC, “dimulai dari menanam pohon kapas sampai akhirnya berbuah, lalu dijadikan benang, ditenun, dan dijahit menjadi kain salampuri yang sangat lebar. Begitu lebarnya sampai bisa menutupi Bumi. Pada saat yang sama, pangeran yang dijodohkan dengan putri juga datang dan membawa kain salampuri.”
“Akhirnya, sang putri turun dari Gunung Duri,” kata MC seraya mempersilakan kami, para penari yang terdiri dari kalangan tua dan muda—anak-anak dan remaja, perempuan dan laki-laki, untuk memasuki arena panggung. Sebagai pembuka, kami menyanyikan lagu Aiwando sambil berpegangan tangan serta menggoyangkan badan ke kiri dan kanan.
Di sesi pembuka, para penari belum membentuk formasi lingkaran, sebatas mengikuti aba-aba dari dua orang tua yang menjadi pengiring atau pemain instrumen musik tifa dan gong. Sambil menari, kami menyanyikan lagu-lagu. Tiap lagu memiliki makna berbeda. Saya tuliskan lirik dan maknanya satu per satu, ya:
Tarian Aiwando
Aiwando la aiwando
Aiwando wandore
Aironda la aironda
Ai ronda rondare
Rondare rosmaniska tuan jela
Rerek ayu saminya pilu
Jakaria jalombang-lombang
Sinyo-sinyo kupara sinyo
Kemaeste aneh aneela
Tutup pintu buka jandela
Kasi aer nona sabela
Basu kaki masu canela
Artinya: “Berkumpul ayo berkumpul, berkumpul marilah berkumpul, berjalan ayo berjalan, berjalan-jalan, berjalan nona-nona manis anak orang tua, jangan sedih sampai wajahmu pilu, anak laki-laki marilah datang, panggilan untuk anak laki-laki, yang suka memakai topi, tutup pintu buka jendela, beri air nona sabela [sebutkan nama seseorang], cuci kaki masuk canela (sepatu).”
Sesuai arti kata aiwando yaitu berkumpul, maka nyanyian dan tarian ini adalah panggilan kepada warga Desa Rajawali agar berkumpul di lokasi acara untuk sama-sama menari. Suka cita melangkahkan kaki menuju panggung sambil berpegangan tangan. Oh ya, sebelum meninggalkan rumah, kami tak lupa mengunci pintu dan memakai sendal.
Setelah warga berkumpul di panggung, selanjutnya menyanyikan lagu Patra Julale. Kali ini, koreografinya: berjalan memutar, seperti membuat lingkaran di lapangan luas, sembari tetap bergandengan, tetapi bukan memegang tangan, melainkan lenso. Formasi lingkaran merujuk bentuk bulan purnama yang (bulat) bundar.
Patra Julale
Patra julale julale 2x, patra ladua lipa
Lamata koro, labunga nira
Bunga salo alae 2x, bunga salo alae
Beta triri beta tralalalala 2x
Esakii esakaa sirisaa mandoya, sirisa mandoya
Lagu ini menceritakan warga Desa Rajawali yang bersorak dan bergembira melihat bulan purnama. Lirik Patra Julale berarti: “Panggil datang kemari, panggil sampai dua kali, mata mulai bahagia, ya bunga neira, bunga sallu alaih, saya triri saya tralalalala (bernyanyi), yang di sana yang di sini sama-sama maunya (bahagia).”
Lagu ke-dua ini lebih ditujukan kepada anak-anak agar mau berkumpul dan bernyanyi. Lirik beta triri beta tralalalala menggambarkan suasana hati yang gembira melihat bulan purnama setelah lama menantikan. Selanjutnya, menyanyikan lagu ke-tiga Baka Ilala sambil bergerak membentuk lingkaran, sambil berpegangan lenso dan berputar.
Baka Ilala
Baka ilalaa sabila baka ilalaaa
Are dansa komast ela bida-bida salam manis
Esa kotimpro, kotimpro ros gulale
Are dansa komastela bida-bida salamantoo
Arti nyanyian ini: “Sedang gembira sangat gembira, kami menari dan bergaya dengan wajah-wajah manis, Tuhan memberikan, memberikan semanis gula (bulan purnama), kami menari dan bergaya wajah-wajah bersemangat. Menyimak liriknya, terbayang suasana hati warga desa yang bergembira menyambut bulan purnama.”
Saat melagukan “Baka ilalaa sabila baka ilalaaa,” para penari melakukan gerakan memutar. Kebahagiaan terpancar di wajah mereka. Hingga tiba di lagu berikutnya, Ayosa, para penari bergerak membentuk lingkaran, tangan menyilang di pundak lalu mengangkat dan mengayun tangan ke atas sembari berputar di tempat masing-masing.
Ayosa
Ayosa, yosa baradosa
Caaciwi cacawa acumbembeng cumbambang
Badiri manari adu hai sayang
Lirik lagu ini berarti: “Ayo, menari tidak berdosa (tidak apa-apa); anak-anak, remaja, dewasa, orang tua; berdiri, menari aduhai sayang.” Tak berbeda dengan lagu-lagu sebelumnya, Ayosa juga menggambarkan kebahagiaan menyambut bulan purnama. Sudahkah para penari lelah? Ah, hati yang gembira manalah mengenal lelah?”
Jelang tengah malam, mengalunlah Rosina Tarojina diiringi suara ayam berkokok. Sambil menyanyikan lagu yang menceritakan tentang proses pencarian seekor ayam berkokok oleh tuannya ini, para penari bergerak berbentuk lingkaran, seolah menjadi pagar atau kandang yang mengungkung seseorang yang berperan sebagai ayam.
Saat si penari di tengah lingkaran menirukan suara ayam—berkokok, sontak barisan penari yang membentuk lingkaran pagar pun buyar. Pada saat yang sama, si penari (pemeran ayam) berlari, dan penari lain (pemeran tuan) berusaha mengejarnya. Koreografi ini menyimbolkan pergantian hari yang ditandai dengan suara ayam berkokok.
Rosina
Rosina barodinya, ros gula ros kado
Mailonte digalinya aula kutaro lalalaa
Tralalalaaa lalaa lalaa lalaaa lalalalalaaaaa
Lagu Rosina berkisah tentang anak ayam yang dicari oleh sang induk. Liriknya mengandung arti: “Anak ayam baru bangun, bunga manis hadiah, induk ayam dicarinya sambil berteriak, Tralalalaaa lalaa lalaa.” Sambil menyanyikan ini, para penari menirukan suara dan gerakan ayam, yang menggambarkan pergantian hari, menyambut pagi.
Usai Rosina, para penari mengestafet dengan Dederman. Mereka saling berpasangan dan berbaris membentuk lingkaran, lalu bergerak ke kiri dan kanan sambil menyanyi. Lalu, tiba di lirik, “Di mana dua batamang di mana tiga loko sato,” pasangan yang berjumlah tiga orang, maka salah satunya bergeser ke barisan berikut, begitu seterusnya.
Dederman
Dederman-dederman baku eko seng pegang
Di mana dua batamang di mana tiga loko sato
Lagu berlirik singkat ini memiliki makna: “Barisan-barisan berurutan tidak dipegang, di mana barisan hanya dua teman, di mana barisan yang ada tiga maka satunya diambil.” Intinya, lagu Dederman menerangkan bagaimana cara berdisiplin di kehidupan. Aturan ini tidak boleh dilupakan dan terlambat dieksekusi. Jika melanggar, siap-siap dihukum.
Saat menyanyikan Dederman, para penari membentuk satu barisan panjang sambil berpegangan tangan erat yang melambangkan sebilah rotan. Mereka terus bergandengan tangan sampai menyambung lagu berikutnya, Ayo Sale. Lalu, gerakan tangan pun berganti menyilang, melambangkan rotan yang diikat.
Ayo Sale
Ayo sale sale pata sale e sale yoo
Lanaitee lanania kapalaleoo leo kala lanuri helaa
Buah salak buah berduri
Sedang gurita dimasak cuka
Jikalau salah dibilang salah
Dapat ika pasti dibuka
Hela rotan hela mari hela rotan hela
Rotan tuni la dari soya mari hela
“Ayo baik-baik setelah rusak baik, naiklah anak sudah kala dapat tarik, buah salak duah berduri, sedang gurita dimasak cuka, jikalau salah mengaku salah, sudah diikat pasti buka, tarik rotan, mari tarik rota, mari tarik, rotan kuat dari soya mari tarik.” Demikian arti dari lagu Ayo Sale yang intinya mengajak anak-anak untuk berbuat baik.
Ada pembelajaran baik yang bisa didapat dari lirik lagu Ayo Sale, utamanya tentang kejujuran. Orang yang telah berbuat salah harus mau mengakuinya, dengan berbuat baik maka ia akan diampuni. Nyanyian ini digambarkan dengan gerakan tari dari bergandengan tangan, lalu menyilang, seperti ikatan rotan.
Ada juga gerakan lain di lagu ini: maju dan mundur. Para penari membentuk dua barisan berbanjar kemudian berhadapan. Kedua barisan melakukan gerakan maju mundur sebanyak 11 kali sambil menyanyikan lagu berikutnya, Payong-payong atau Payung-payung, lalu berpindah posisi sebanyak dua kali.
Gerakan yang menyerupai payung dibuka dan ditutup ini menggambarkan persatuan warga Desa Rajawali. Barisan yang tidak saling bertemu melambangkan payung terbuka, artinya jika warga tidak bersatu maka Desa Rajawali akan hancur. Sebaliknya, barisan yang bertemu melambangkan payung yang tertutup, artinya warga Desa Rajawali harus kompak.
Gerakan berpindah posisi melambangkan persatuan: di mana pun berada, sekalipun di tempat yang berbeda, warga Desa Rajawali harus tetap rukun, kompak dan bersatu. Semangat persatuan warga Desa Rajawali yang dibarengi tekad untuk memajukan negeri ini digambarkan melalui gerakan menyerupai payung terbuka dan tertutup.
Payong-Payong
Payong-payong, payong tabuka 2x
Asi ros maraya yang kastela, ros maraya yang kastela
Mingger-mingger tutup buka mingger 2x
Selang-selang selang minya reste
Reste-reste reste minya plos
Ayadum makadum, makadumboree 2x
Aya dumba makang padi, padi malati 2x
Ana nia aku pana para dia 2x
Artinya: “Payung-payung, payung terbuka; bunga ros merayap yang bersiap (bunga mawar yang akan mekar), pinggir-pinggir tutup buka pinggir, sela-sela minyak wangi, wangi-wangi minyak bulat (harum bunga mawar yang pekat), sejenis kata bahagia (sorak gembira), ya dumba makan padi, padi tidak enak; anak nia aku panah untuk dia.”
Gerakan yang menyerupai payung terbuka saat melantunkan lirik lagu ini juga menggambarkan bunga mawar yang akan mekar, menebar wangi yang membuat suasana hati bahagia. Sedangkan gerakan barisan terbuka tertutup melambangkan persatuan warga Desa Rajawali yang kuat, tidak akan tercerai berai.
Sebagai penutup dari tarian Bulan Terang ini adalah Basaro. Di bagian ini ada adegan berbalas pantun: percakapan sang putri dengan orang tuanya. Putri yang dicari-cari ternyata ada di Gunung Duri. Sang ibu meminta putri untuk kembali ke istana. Semula putri menolak, tetapi kemudian berubah pikiran dan mengajukan satu syarat.
Syaratnya: putri turun akan gunung setelah menyelesaikan pembuatan kain salampuri (kain selebar langit yang menutupi Bumi). Adegan ini diperankan oleh tetua desa yang berperan sebagai orang tua si putri. Lalu, siapa gerangan yang menjadi putri? Tidak ada yang tahu. Jawabannya baru diketahui setelah Basaro didendangkan.
Basaro
Raja:
Tuan la putri di Gunung Duri bapak la raja disuruh panggil
Bapak la raja datang balayar ada la bawa galang berlian
Putri:
Ia la papa ia bundaku salam sombaku pada papaku
Kapas la beta baru ditanam
Raja:
Tuan la putri di Gunung Duri bapak la raja disuruh panggil
Bapak la raja datang balayar ada la bawa rante berlian
Putri:
Ia la mama ia bundaku salam sombaku pada bapaku
Ia la bapa ia bundaku kapas la beta baru batumbu
Raja:
Tuan la putri di Gunung Duri bapak la raja disuruh panggil
Bapak la raja datang balayar ada la bawa cincin berlian
Putri:
Ia la mama ia bundaku salam sombaku pada bapaku
Ia la bapa ia bundaku kapas la beta baru babunga
Kapas la beta baru la jadi
Raja:
Tuan la putri di Gunung Duri bapak la raja disuruh panggil
Bapak la raja datang balayar ada la bawa kaeng salampuri
Iringkan sekalian ya ilahi berjalan bulan
Putri saeraa putriii raja
Artinya:
“Raja:
Tuan putri di Gunung Duri, raja menyuruh memanggilmu
Raja pulang berlayar membawa gelang berlian untukmu
Putri:
Ia ayahku, ia bundaku, salam sembahku pada ayahku
Kapasku baru ditanam
Raja:
Tuan putri di Gunung Duri, raja menyuruh memanggilmu
Raja pulang berlayar membawa rantai berlian untukmu
Putri:
Ia mamaku, ia bundaku salam sembahku pada ayahku
Wahau ayahku, wahai bundaku pohon kapasku baru tumbuh.
Raja:
Tuan putri di Gunung Duri, raja menyuruh memanggilmu
Raja pulang berlayar membawa cincin berlian untukmu
Putri:
Wahai mamaku, wahai bundaku, salam sembahku pada ayahku
Wahai ayahku, wahai bundaku, pohon kapasku mulai berbunga
Pohon kapasku mulai jadi
Raja:
Tuan putri di Gunung Duri, raja menyuruh memanggilmu
Raja pulang berlayar membawa kain salampuri untukmu
Bergembira semua ya Tuhan pencipta bulan putri saera putri raja.”
Usai percakapan panjang lebar ini, sang putri turun dari Gunung Duri, karena syarat yang diajukan telah dipenuhi: ada kain salampuri, walau bukan yang dibuat oleh tangan sendiri, melainkan dibawakan oleh raja. Kembalinya putri ke istana disambut gembira oleh warga. Akhirnya, putri menikah dengan pangeran pilihan sang orang tua.
Pesta pernikahan yang meriah menandai akhir yang bahagia. Berbarengan dengan adegan pemungkas ini, usai pula gelaran Bulan Terang, sekitar pukul dua dini hari. Para penari puas karena warga antusias menyaksikan dari awal sampai akhir nyanyian dan tarian Bulan Terang, tradisi autentik yang hanya ada di Desa Rajawali.
Hanya kami, warga Desa Rajawali, yang memiliki tradisi Bulan Terang, maka hanya kami jugalah yang menjaga dan melestarikannya.
Penulis: Habsawati Kaimen, guru honorer di Banda Neira
Editor: Vega Probo