Follow Us On

Bye Bekasi, Hello Banda!

11Dari Bekasi ke Banda

Tak terasa hampir genap enam tahun saya menetap di Banda Neira, Maluku Tengah. Tepatnya, sejak lulus salah satu SMA di Bekasi, Jawa Barat, pada 2016. Mengapa saya meninggalkan kota yang sering di-bully di media sosial ini? Sebelum memberikan jawabannya, terlebih dahulu saya ingin sedikit mengilas balik.

Saya lahir dan besar di Bekasi. Selepas SMA, saya merantau ke Banda Neira tak sendirian, melainkan bersama ibu kandung dan ayah tiri. Lebih baik tinggal bersama keluarga besar di Banda Neira, daripada sendirian di “Planet Lain” kan? Lagipula saya memang berencana ingin melanjutkan kuliah di Banda Neira, mengikuti saran ibu.

Sejak dulu, saya bercita-cita ingin menjadi perawat, tapi sayang tak kesampaian. Saya mengambil kuliah jurusan Ilmu Pendidikan di Sekolah Tinggi Hatta-Sjahrir. Soal biaya perkuliahan, tentu saja di Banda Neira lebih terjangkau, sekitar Rp1 juta per semester. Bandingkan dengan biaya perkuliahan di sebuah kampus di Bekasi bisa mencapai Rp5 juta per semester.

Saat ini, saya sedang menyelesaikan kuliah semester akhir, sekaligus menyambi bekerja sebagai pegawai honorer di PAUD di Desa Dwiwarna, Banda Neira. Kelihatannya “smooth” ya perantauan saya di sini. Padahal sejatinya tidak juga. Layaknya perantau, saya sempat mengalami culture shock, terkaget-kaget dengan hal-hal baru.

Kapal Ngapulu Membawa Penumpang ke Banda
Kapal Ngapulu membawa penumpang siap merapat di pelabuhan Banda Neira. (Feri Latief)

Saya tak bisa melupakan masa-masa awal tinggal di rantau. Suatu hari, terdengar ribut-ribut. Saya pun bergegas ke luar rumah untuk mengecek. Oh, ternyata tetangga saling sapa. Saya kira terjadi percekcokan. Habis, suara mereka nyaring. Hahaha. Maklum, dahulu di Planet Lain, rata-rata warganya berbicara dengan intonasi pelan.

Meski kerap mengalami culture shock, lama kelamaan saya betah juga tinggal di Banda. Iya sih, saya kangen Bekasi, terutama teman-teman lama semasa SMP dan SMA. Chat via pesan singkat dengan mereka menjadi obat kangen saya. Mereka juga yang menyemangati agar segera lekas luluh kuliah dan diwisuda, agar bisa mudik ke Bekasi.

Nah, soal perkuliahan di Banda, menurut saya, dosen-dosennya baik hati, terutama dosen pembimbing skripsi. Tak hanya mencorat-coret isi skripsi yang salah, tetapi membantu memperbaiki serta menjelaskan sampai saya paham. Selain itu, teman-teman kuliah juga asyik-asyik. Mereka selalu membantu dan mendukung saya.

Saya ingat, pada masa orientasi pengenalan kampus (ospek), senior/panitia menyuruh kami—junior/mahasiswa baru—membawa sasapu tanpa menjelaskan apa-apa. Saya mengira sasapu adalah sejenis sapu berbahan ijuk untuk menyapu lantai, seperti biasa dijumpai di Bekasi. Salah saya, kok ya tidak bertanya apa itu sasapu.

Transportasi Umum di Banda
Transportasi umum di Banda Neira menggunakan moda angkutan perairan. (Feri Latief)

Esok hari, saya—dengan penuh percaya diri—membawa sapu ijuk ke kampus, dan ternyata… saya salah! Sasapu tak lain sebutan orang Banda untuk sapu lidi. Sementara sapu ijuk disebutnya sapu gamutu. Jadi lah pada hari ospek itu teman-teman membawa sapu lidi dan hanya saya seorang yang membawa sapu ijuk. Aduh, malunya!

Untung malunya hanya sebentar, karena teman-teman di sini, sebagaimana kekhasan orang Banda, sangat baik dan helpful. Suatu kali, mereka mengajak saya mencicipi makanan lokal: baraci, semacam rujak dengan bumbu bakasang, terasi lokal yang terbuat dari fermentasi perut ikan dan pala. Buahnya terdiri dari mangga, kedondong dan tomi-tomi.

Teman-teman juga pernah mengajak saya liburan di Pulau Ai. Ini merupakan kali pertama saya pergi ke luar Banda Neira. Sungguh pengalaman tak terlupakan: kami mencuci pakaian di embung/bendungan, sekaligus menjemurnya. Sambil menunggu cucian kering, kami duduk-duduk di pantai sekalian untuk mendapatkan sinyal/akses internet.

Empat hari berlalu, kami pun kembali ke Banda Neira, naik kapal laut. Kebetulan ombaknya sedang tinggi. Seru juga, sih. Kalau di Bekasi, mana pernah merasakan naik kapal diayun ombak, naik turun seperti melewati deretan polisi tidur. Tahu saya cemas, salah seorang teman berdoa sembari memegangi tangan saya, supaya jadi lebih tenang.

Pesta Pernikahan di Banda Neira
Pesta Pernikahan di Banda Neira semua persiapan dilakukan dengan bergotong royong. (Feri Latief)

Lain waktu, saya dan teman-teman berlayar ke Pulau Hatta untuk mengikuti pelatihan snorkeling dan diving. Ah, pulau ini memang cantik sekali: pasir putih, air tosca jernih, dan pemandangan bawah lautnya sangat indah. Di sini juga ada gua bawah laut, yang bagi saya agak menyeramkan. Selain lumba-lumba, kami juga “disambut” ikan terbang.

Sementara jika tak ke mana-mana, saya dan teman-teman biasa berkumpul di sekitar tempat tinggal di Desa Dwiwarna. Tempat nongkrong favorit kami: taman (tita) tepi pantai/pelabuhan di seberang Istana Mini. Kadang kami berkumpul di Tugu Segitiga di Desa Nusantara sambil makan sate bakso ikan, nasi kuning, dan pisang goreng.

Biasanya kami berkumpul dengan “tujuan mulia” untuk mengerjakan skripsi masing-masing. Tetapi kenyataannya, kami malah ngobrol, curhat percintaan, sambil ngemil. Hahaha. Sungguh kegiatan yang bertolak belakang dengan yang pernah saya lakukan semasa remaja bersama kawan-kawan di kampung halaman tercinta: Bekasi.

Anak Banda Pergi Mengaji
Di sore hari anak-anak Banda Neira pergi untuk belajar mengaji. (Feri Latief)

Ya, pagi di Bekasi, pada akhir pekan, saya dan teman-teman biasa berkumpul di Stadion Bekasi. Selain berjalan kaki bersama, juga bermain bola, skateboard, dan latihan dance. Kadang berolahraga pagi di Jembatan Summarecon saat car free day pada Minggu pagi, sambil ngemil karena ada banyak pedagang makanan dan minuman.

Aduh, jadi rindu. Suatu saat nanti, saya ingin mudik ke Planet Bekasi.

[BOX]

BEKASI VERSUS BANDA

Apa saja perbedaan hidup di Bekasi dan Banda? Ini dia sebagian di antaranya:

Bekasi Versus Banda
Sebagai orang dibesarkan di Bekasi, saya agak sulit berbaur.  Saat saya sudah dewasa, kadang kadar malu saya lebih tinggi. Pergaulan Masyarakat Banda lebih mudah berbaur, lebih ramah dengan orang baru, baik laki-laki maupun perempuan.
Dialek orang Bekasi agaknya biasa-biasa saja, tidak terlalu khas, tetapi sebagian orang punya bahasa slank atau istilah sendiri untuk menyebut sesuatu. Dialek Setiap desa di Banda memiliki dialek berbeda. Kalimat yang sama jika diucapkan oleh warga Banda Neira dan Lonthoir (Banda Besar), maka dialeknya beda.

 

Alfamart dan Indomaret ada di mana-mana! Minimarket Hanya ada Banda Mart
Macaroni basah atau mi seblak mudah dijumpai. Camilan Tidak ada pedagang kedua camilan khas Bekasi itu.
Ruwet, macet, polusi. Suasana kota Asri, banyak pepohonan. Terletak di tepi laut yang airnya tosca nan jernih.
Ada beberapa, antara lain Gedung Juang dan Gedung Papak Bangunan tua Ada banyak bangunan bersejarah, termasuk rumah pengasingan tokoh nasional, dari Mohammad Hatta sampai Sutan Sjahrir, juga benteng-benteng, dari Belgica sampai Nassau.
Dari angkutan kota (angkot) sampai kereta (commuter line), semua ada di Bekasi! Angkutan umum Tidak ada angkutan umum. Kebanyakan sepeda motor dan motor laut (perahu/kapal bermesin).
Pasti kesasar, dan sekalinya nyasar tidak tahu berada di mana. Jalanan 1 Anti-kesasar. Kalaupun kesasar, dijamin tidak akan hilang, karena jalanannya saling terhubung.
Sekurangnya ada lima jalan tol yang melewati lima kecamatan di wilayah Kota Bekasi dan tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi, termasuk tol Bekasi Timur, tol Bekasi Barat, Pekayon Toll Bridge (Jakarta-Cikampek). Jalanan 2 Tidak ada jalan tol, juga rambu-rambu—lampu lalu lintas.
Lebih panas dibandingkan tetangga, Jakarta. Anehnya, kadang wilayah lain kering, tetapi Bekasi hujan. Cuaca Cuaca di Banda tidak jauh berbeda dengan Kota Bekasi.
Menurut saya pribadi, rasa ikan di Bekasi kurang enak, agak pahit. Harga sekantong ikan di Bekasi Rp80.000. Ikan Segar, dan rasa berbeda, agak manis. Harga pun terjangkau, sekantong ikan Rp10.000.
Sejak subuh—pukul empat pagi—sudah ramai! Pasar Baru ramai sekitar pukul delapan pagi.
Agak sulit jika hendak minta tolong. Kepedulian Tinggi! Jika terpaksa meminjam uang, ada saja orang yang memberikan walaupun tidak saling kenal.
Ada banyak penjual daging sapi dan kapan pun kita mau makan daging sapi tinggal beli saja di pasar. Daging sapi Jika ingin memakan daging sapi, harus bersabar. Stoknya hanya ada setahun sekali, saat Idul Adha.
Ada Mall/bioskop Tidak ada
Setiap jalan raya dan lampu merah selalu ada. Pengemis/pengamen Tidak ada
Ada Topeng monyet Tidak ada, melainkan melainkan orang yang memakai kostum dengan topeng monyet dan baju yang terbuat dari karung goni.
Jika beli ayam potong, bisa request sama penjualnya: satu ekor ayam dipotong beberapa bagian. Ayam potong Tidak bisa request sama penjualnya, karena ayam dibungkus per satu ekor dan dipotong sendiri di rumah.
Bisa berjam-jam! Mati lampu Hanya sebentar
Ada. Bayar listrik sudah sekalian semuanya termasuk channel TV. Channel TV Berbayar Tidak ada
Kebanyakan hanya ada resepsi, juga akad nikah saja. Acara pernikahan 1 Ada tradisi: sebelum hari-h pernikahan, ada acara yang namanya duduk gula-gula, malam atau siang pacar.
Ada wedding organizer yang menyiapkan panggung, dekor, sampai catering—dengan pilihan aneka menu. Acara pernikahan 2 Ibu-ibu saling bergotong royong membantu menyiapkannya.
Lebih sering naik motor/ojek. Mobilitas Pemandangan bagus dan alamnya asri, jadi lebih enak dinikmati sambil berjalan kaki.
Mudah ditemukan, tinggal pesan/beli via toko online. Barang kebutuhan Harus memesan secara online, lalu menunggu kapal pengirim datang, atau harus membelinya di luar Banda.
Biasanya ada kue pancong, kue laba-laba atau kue ape. Ada juga lontong sayur. Jajanan pasar Ada gorengan, juga kue porci, kue cara. Ada juga sate ayam dan sate ikan. Lontong sayur hanya ada setahun sekali.

 

Penulis: Hera Putri Yantari Saiman, warga Banda Neira kelahiran Bekasi

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply