Kepulauan Banda memang elok!
Dengan segala kekayaan yang dimilikinya, dari alam, seni budaya, sampai sejarah (cagar budaya), agaknya tidak berlebihkan jika Banda kini adalah gambaran nyata sebuah wilayah yang memiliki kekayaan alam berlimpah, aman dan tenteram. Ya, kepulauan di Maluku Tengah ini memang elok!
Namun gambaran tentang Banda sekitar empat abad silam tidaklah se-gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja itu. Sejarah mencatat, Banda sempat mengalami masa suram akibat penguasaan bangsa asing terhadap kekayaan alamnya, terutama rempah-rempah.
Saat mempersiapkan tulisan ini pada Februari 2022, saya meriset dan menemukan catatan sejarah yang menyebutkan, bahwa 401 tahun lalu, tepatnya pada Februari 1621, armada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tiba di Kepulauan Banda, dan sejak itu, ketenteraman pun terusik.
Tidak tanggung-tanggung, VOC—kongsi dagang Belanda—yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mengerahkan 16 kapal perang dan 1.000 tentara. Tujuannya: menyingkirkan warga lokal dan East India Company (EIC dari Inggris), lalu menguasai perdagangan rempah.
Coen, sebagaimana dipaparkan oleh Tristan Mostert dalam risetnya, The Dutch and English East India Companies (2019), menaklukkan Banda dengan cara menyulut konflik. Akibatnya, jumlah warga menyusut drastis: tersisa hampir seribu orang, dari sebelumnya sekitar 15.000 orang.
Tak hanya memusnahkan sebagian besar warga Banda, pihak Coen juga menangkap, mengadili dan mengeksekusi 48 orang kaya. Lalu, keluarga mereka yang berjumlah hampir 800 orang—terdiri atas orang tua, perempuan, dan anak-anak—dibawa ke Batavia (Jakarta) untuk dijadikan budak.
Lalu, lahan-lahan dibagi-bagi dan dijadikan perkebunan pala. Ironisnya, Coen malah mendatangkan budak-budak dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia Tenggara ke Banda untuk mengerjakan perkebunan pala—yang dipimpin oleh perkenier atau pengusaha kebun yang rata-rata pegawai VOC.
Pala Banda yang Berharga
Mengapa Coen, juga bangsa Eropa lain, begitu berhasrat menguasai perdagangan pala di Banda? Karena Banda sebagai kepulauan rempah adalah satu-satunya penghasil pala terbaik di dunia kala itu. Pala sendiri diminati oleh beragam kebudayaan di seluruh dunia lantaran khasiatnya, terutama untuk pengobatan.
Sejumlah literatur menyebutkan, pada abad ke-17, pala berharga sangat tinggi di Eropa. Terlebih setelah para dokter di London mengklaim pala sebagai satu-satunya obat wabah sampar. Pala pun menjadi primadona yang dicari banyak orang. Namun untuk mendapatkannya butuh perjuangan.
Betapa tidak, pada masa itu, para pedagang Eropa membeli pala di Venesia, Italia, dan para pedagang Venesia membelinya dari Konstantinopel, yang terletak di Istanbul, Turki. Bisa dibayangkan betapa jauh jalur perjalanan pala dari Banda ke Konstantinopel yang didominasi oleh para pedagang muslim.
Sebagai penghasil rempah—pala dan bunga pala, yang bernilai sangat tinggi di pasar dunia, Banda mulai memiliki komunitas kota pelabuhan, pada akhir abad ke-16. Sebelum itu, pada abad ke-14-15, para pedagang asal Jawa menetap di Banda dan menjadi syahbandar yang mengatur perdagangan pala.
Mayoritas pedagang berasal dari Tuban, Demak, Gresik, dan Surabaya, sebagian di antaranya keturunan China dan Melayu. Menurut Kenneth R. Hall dalam bukunya, A History of Early Southeast Asia. Transactions of the Newcomer Society (2011), para pedagang bekerja sama dengan para kepala suku Banda.
Lebih lanjut, Hall memaparkan, pada awal abad ke-16, pedagang keling yang bermarkas di Malaka (Melaka), Malaysia, serta pedagang keturunan China yang bermarkas di Gresik aktif berdagang dengan Banda. Mereka menggunakan delapan perahu dari Malaka dan empat perahu dari Gresik.
Jalinan perdagangan ini sangat penting bagi Banda, karena Jawa menyediakan beras, bahan pangan alternatif, selain sagu. Tambah lagi, para pedagang dari Jawa, juga Malaka, mendatangkan barang-barang impor: pakaian katun dan sutra dari India, keramik dari China serta Thailand, dan lain-lain.
Pedagang lokal Banda—dengan perahunya yang lebih kecil—mendistribusikan barang-barang tersebut ke Kepulauan Maluku untuk ditukar dengan cengkeh, yang kemudian dijual ke pedagang Jawa dan Malaka. Pada akhir abad ke-15, pedagang Bugis dan Makassar dari Sulawesi mulai berniaga di Banda.
Estafet Pala Banda ke Dunia
Seru ya, membayangkan kiprah para pedagang pada masa lampau. Terlebih ketika ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata menurut hasil riset Hall (2011), melonjaknya perdagangan maritim yang menghubungkan Timur dan Barat melalui Asia Tenggara sudah dimulai sejak era Dinasti Ming di China.
Artinya, nadi perdagangan sudah berdenyut lebih awal: sejak abad ke-14. Tepatnya, pada 1368, saat Dinasti Ming menggulingkan Dinasti Yuan dari Mongol, sekaligus menutup Jalur Sutra yang menghubungkan China, Asia Tengah, Mediterania. Untuk diketahui, Dinasti Yuan turut mengembangkan jalur ini.
Selanjutnya, Dinasti Ming mendirikan ibu kota di Nanjing di tepi Sungai Yangtze yang merupakan pusat dagang maritim China. Kebijakan Dinasti Ming inilah yang memicu lonjakan perdagangan. Jalur perdagangannya sendiri sudah dirintis seabad sebelumnya oleh Dinasti Mamluk di Mesir dan Suriah pada 1250.
Asal tahu saja, kebangkitan Dinasti Mamluk berperan membawa stabilitas di jalur perdagangan Laut Merah yang menghubungkan India dan Mediterania. Dinasti Mamluk memiliki kontrak dengan para pedagang di Venesia, Italia, untuk memasarkan rempah-rempah ke Eropa.
Dinasti Ming mendorong perdagangan dengan Asia Tenggara sebagai penghasil rempah-rempah. Asia Tenggara dan Nusantara kemudian merespon dengan meningkatkan perdagangan rempah-rempah. Hal ini dengan sendirinya memunculkan kota-kota dagang besar.
Pada abad ke-14, perdagangan rempah di Asia Tenggara tidak lagi didominasi oleh Sumatra Selatan dan Jawa Timur, meskipun perannya tetap dipandang penting. Pada masa ini, Aceh, Burma (Myanmar), Thailand, Vietnam, dan Kepulauan Rempah di Maluku, berperan langsung dalam perdagangan internasional.
Sepanjang abad ke-14, muncul kota dagang yang hidup dari pajak perdagangan di Samudra Pasai, Aceh; Malaka dan Brunei, Malaysia; Cebu, Filipina; dan Makassar. Sementara di Asia Tenggara, juga berkembang kota dagang di Pegu, Myanmar, dan Ayutthaya, Thailand.
Masih di era yang sama, berkembang pelabuhan utama Champa Thi Nai, Vietnam, sebagai persinggahan sebelum menuju China. Di sini, menurut Hall, juga terjadi pertemuan perahu-perahu dagang dari Jawa, Teluk Thailand, Selat Malaka, Kalimantan, Filipina, dan Kepulauan Rempah di Maluku.
Sepanjang sejarah, pusat perdagangan maritim global di Asia Tenggara terletak di Malaka, Malaysia, serta pelabuhan-pelabuhan di Laut Sulu, Filipina, antara lain di pesisir Luzin, Mindoro, Cebu, dan Mindanao. Kedua lokasi ini sama-sama menghubungkan dunia dengan Kepulauan Rempah di Maluku.
Sebagai pelabuhan yang lebih besar dan paling ramai, Malaka terbuka bagi perdagangan global yang menghubungkan Timur dan Barat. Maka, menurut Hall (2006), lambat laun komunitas perdagangan pada abad ke-15 di Samudra Hindia yang berpusat di Selat Malaka menjadi pusat kebudayaan.
Di sisi lain, Hall (2011) menambahkan, pelabuhan-pelabuhan di Laut Sulu merupakan pintu belakang menuju Kepulauan Rempah, tetapi tidak begitu aktif menghubungkan pihak-pihak luar, hanya sebatas China, Filipina, Brunei Darussalam (bagian dari Malaysia), dan Kepulauan Indonesia Timur.
Pada abad ke-14-16, terbentuk sistem perdagangan rempah global yang menghubungkan Asia dan Eropa, yang dapat diamati dalam enam zona.
Zona 1 berpusat di China Selatan, pelabuhan-pelabuhan di Filipina Utara, pesisir Vietnam, Teluk Thailand, dan Semenanjung Malaya. Di zona ini pedagang dari berbagai etnis menyalurkan barang dagangan dengan perahu antara pelabuhan-pelabuhan tersebut.
Sisi selatan Zona 1 berhubungan dengan Zona 2 yang berpusat di pelabuhan Tuban, Gresik, Jepara, dan Demak. Zona ini dikuasai oleh pedagang multietnis yang berpusat di pantai utara Jawa yang melakukan perdagangan ke Timur dan Utara dengan Kepulauan Rempah di Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Selatan, serta Mindanao, Filipina. Hall (2011) menyebutkan, pedagang yang berpusat di Jawa juga melakukan perdagangan ke Barat dengan pelabuhan-pelabuhan pantai timur Sumatra.
Di Malaka dan Aceh, zona ini beririsan dengan Zona 3 yang berpusat di India. Zona 3 berpusat di pelabuhan-pelabuhan di India Selatan, Gujarat, Bengali, dan Sri Lanka. Zona ini berhubungan dengan Kepulauan Indonesia Barat di timur dan Laut Merah di barat. Zona 4 berpusat di Alexandria, Mesir, serta pelabuhan-pelabuhan di timur Mediterania dan Timur Tengah.
Zona 5 berpusat di pedagang-pedagang Italia dan melalui Mediterania mereka menyalurkan produk Asia ke Zona 6 yang berpusat di Semenanjung Iberia—Spanyol dan Portugis. Produk Asia termasuk rempah-rempah, menurut Hall (2011), masuk ke pasar Eropa utara dan barat melalui pedagang Iberia.
Penyerbuan Bangsa Eropa di Nusantara
Bangsa Eropa—Portugis dan Spanyol yang kemudian diikuti oleh Prancis, Belanda, dan Inggris—pada abad ke-14-15, mencari “Indies” yang dipercaya sebagai wilayah di Timur yang menyimpan banyak kekayaan, berupa rempah, emas, dan batu mulia, yang selama ini mereka dapatkan melalui pedagang-pedagang muslim di Venesia.
Penjelajah Portugis dan Spanyol, pada abad ke-14-15, menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2015), memiliki karakter khas sebagaimana lazimnya penjelajah asal Eropa. Mereka tidak hanya memburu kekayaan, melainkan juga mencari ilmu pengetahuan sekaligus wilayah baru.
Sepanjang abad ke-15-16, negara-negara Eropa membidik wilayah-wilayah “tak bertuan” di peta. Pada 1492, Christoper Columbus berlayar dari Spanyol ke Barat untuk menemukan jalur baru menuju Asia Timur dan Kepulauan Rempah. Tetapi ia justru menjejakkan kakinya di Benua Amerika yang kala itu belum dikenal di Eropa, Afrika, maupun Asia.
Penemuan Amerika, menurut sejarawan Harari (2015), merupakan peristiwa penting yang melandasi Revolusi Ilmu Pengetahuan. Tidak hanya mengajarkan masyarakat Eropa untuk mendahulukan observasi daripada tradisi, penemuan ini juga mendorong Eropa untuk menaklukan Amerika dan selekasnya menggali ilmu pengetahuan baru.
Dalam bukunya, Harari (2015) menyebutkan, jika masyarakat Eropa benar-benar ingin menguasai wilayah baru yang sangat luas, maka mereka harus menggali sebanyak mungkin data baru mengenai geografi, iklim, flora, fauna, bahasa, budaya, dan sejarah dari wilayah baru tersebut.
Pada 1494, Portugis dan Spanyol menyepakati perjanjian Tordesillas yang mensyaratkan pembagian rata (bagi dua) hasil eksplorasi penaklukkan mereka di wilayah baru. Portugis mengirim Vasco da Gama ke India untuk mendirikan imperium dagang. Lantaran Portugis tidak memiliki komoditas dagang yang menguntungkan di Asia, mereka banting stir merebut rempah, sutra, dan komoditas Samudra Hindia dengan cara kekerasan.
Alfonzo Albuquerque (1453-1515) adalah arsitek utama kebijakan Portugis di Asia, ia mengerahkan armadanya untuk menyerang Selat Hormuz (1507) dan Goa (1510). Pada era ini, armada Portugis membajak ekonomi maritim Asia. Pada 1511, Albuquerque menyerang dan menaklukkan Malaka untuk memonopoli komoditas dari China dan rempah dari Maluku.
Penaklukkan Malaka, sebagaimana dituliskan oleh Michael G. Vann dalam kajian (artikel feature) bertajuk When the World Came to Southeast Asia: Malacca and the Global Economy (2014), juga dilandasi motif untuk menguasai rempah Maluku agar dapat dimonopoli oleh Portugis.
Selanjutnya, pada 1512, Portugis berhasil mencapai Kepulauan Banda, wilayah penghasil pala yang sangat berharga di perdagangan dunia kala itu. Portugis tidak berhasil mendirikan benteng militer di Banda, melainkan di Ternate dan Ambon. Namun Portugis, menurut Martine Julia van Ittersum dalam kajian (artikel) bertajuk Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies 1609-1621 (2016), tidak memiliki hak istimewa berdagang di Banda.
Seabad kemudian, Belanda dan Inggris menggeser peran Portugis dan Spanyol dalam mengeksplorasi dan menaklukkan wilayah Asia, Afrika, dan Amerika, demi mencari kekayaan. Belanda dan Inggris masing-masing mengembangkan perusahaan dagang modern dengan sistem saham.
Ini merupakan hal baru yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Portugis dan Spanyol melakukan eksplorasi dan penaklukkan dengan biaya semata-mata dari kerajaan. Portugis dan Spanyol tidak dapat bersaing dengan kekuatan ekonomi kapitalisme modern awal yang dikembangkan oleh Belanda dan Inggris.
Kemajuan ekonomi yang diikuti perkembangan teknologi perkapalan, persenjataan, dan perdagangan Belanda dan Inggris pada akhirnya menyingkirkan Portugis dan Spanyol dari panggung perebutan rempah di Nusantara. Dari sini lah dimulai peperangan memperebutkan Kepulauan Banda.
Sesengit apa peperangan itu? Simak kelanjutannya di Saksi Sejarah Kepulauan Rempah (Bagian 2), ya!
Penulis: Yosua Pasaribu, arkeolog, domisili di Tangerang Selatan
Editor: Vega Probo