Follow Us On

Saksi Sejarah Kepulauan Rempah (Bagian 2)

11Pulau Run Kepulauan Banda

Peperangan, pertikaian, pertumpahan darah, silih berganti mewarnai kehidupan di Kepulauan Banda sepanjang abad ke-17, seiring kedatangan bangsa Eropa untuk menguasai rempah-rempah, terutama pala. Jadi rebutan di antara kekuatan dunia, tak pelak ketenteraman warga lokal di kepulauan di Maluku Tengah ini pun terusik.

Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang kurun itu dicatat oleh pihak Belanda, juga Inggris. Ya, inilah kekhasan bangsa Eropa yang memang rapi dan disiplin dalam urusan administrasi, pencatatan dan pembukuan. Tiga dekade kemudian, catatan-catatan tersebut menjadi “barbuk” yang menguakkan sejarah Kepulauan Rempah sekaligus literatur yang menjadi sumber tulisan saya ini.

Di artikel sebelumnya (Bagian 1), saya telah mengulas tentang rempah-rempah, terutama pala Banda yang menjadi primadona di Eropa dan Asia. Si hitam manise yang merupakan tumbuhan endemik ini masyhur di kalangan para pedagang, sehingga mereka pun berlomba-lomba untuk menguasai atau memonopoli, dari produksi sampai jual belinya.

Demi memonopoli produksi rempah yang berkhasiat ini, kongsi dagang Belanda—Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)—mengirim Pieter Willems zoon Verhoef ke Kepulauan Banda, pada April 1608. Sebelum itu, Belanda sudah lebih dahulu menjejakkan kaki di Banten, Jawa Barat, pada 1596, lalu disusul Inggris, pada 1602.

Dalam kajian bertajuk Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609-1621 (2016), Martine Julia van Ittersum menyebutkan, kongsi dagang Inggris—East India Company (EIC)—di bawah komando William Keeling telah melakukan perdagangan rempah dengan “orang-orang kaya Banda.”

Berselang satu tahun kemudian, pada akhir April 1609, Verhoef mendirikan Benteng Nassau di Banda Neira, salah satu daratan di Kepulauan Banda. Satu bulan berikutnya, para pengusaha lokal—alias orang-orang kaya Banda—mengundang Verhoef untuk merundingkan perjanjian dagang. Namun yang terjadi justru pertumpahan darah.

Benteng Belgica dan Benteng Nassau
Dua benteng di Banda Neira. Benteng Belgica dibangun ditanah yang lebih tinggi di banding benteng Nassau yang berada di bawahnya. (Feri Latief)

Orang-orang kaya Banda membunuh Verhoef dan beberapa rekannya, termasuk 40 pegawai VOC di Banda Neira. Simon Janszoon Hoen, pengganti Verhoef, lantas mendeklarasikan perang terhadap orang-orang kaya Banda. Hoen, yang mencurigai keterlibatan pihak Inggris dalam peristiwa berdarah tersebut, lalu memberikan ultimatum kepada Keeling.

Hoen menegaskan, pihak Inggris harus meninggalkan Kepulauan Banda dalam lima hari. Tak sampai jatuh tempo, Keeling dan pasukannya sudah angkat kaki. Selanjutnya, menurut kajian Martine Julia van Ittersum, orang-orang kaya Banda dan VOC menandatangani perjanjian damai di Banda Neira, pada 10 Agustus 1609. Walau kenyataannya, tidak juga mendamaikan.

Betapa tidak, sebagaimana dipaparkan Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya, pihak Banda Neira harus bertanggung jawab atas tindakannya membunuh Laksamana Verhoeff. Untuk itu, mereka wajib menjual rempah kepada VOC, lalu para pedagang dari Jawa harus berlabuh di Benteng Nassau dan beraktivitas atas seizin VOC.

Lalu, adakah EIC benar-benar hengkang dari ranah Banda? Tidak juga. Karena pada Februari 1610, David Middleton dari EIC tiba di Kepulauan Banda dan menyatakan kepada orang-orang kaya Banda bahwa armada Inggris siap mengusir Belanda. Orang-orang kaya Banda yang memusuhi VOC tentu saja menyambut baik uluran tangan Middleton.

Namun pada tahun berikutnya, 1614, menurut Martine Julia van Ittersum, Banda dilanda cuaca buruk yang mengakibatkan kapal-kapal dari Inggris dan perahu-perahu dari Jawa tidak bisa berlabuh. Banda pun dilanda kelaparan. Pada saat yang sama, orang-orang kaya Pulau Ai, salah satu daratan di Kepulauan Banda, pun mengeluhkan penindasan oleh orang-orang Belanda dan minimnya dukungan dari pihak EIC.

Pulau Ai 01
Welvaren adalah bekas tempat tinggal pengawas perkebunan pala di Pulau Ai. (Sanif Kohunusa)

Keluhan itu disampaikan oleh orang-orang kaya Pulau Ai kepada penguasa Makassar, yang kemudian diteruskan oleh Benjamin Farie kepada koleganya—para direktur EIC. Setahun kemudian, pada Maret 1615, George Ball dan George Cockayne dari EIC masing-masing dengan kapal Concord dan Speedwell berlabuh di Benteng Nassau.

Agaknya pihak EIC tak gentar sekalipun pada saat yang sama VOC menempatkan armadanya—tujuh kapal—di benteng tersebut. Begitulah, pihak Belanda memang sangat agresif dalam usahanya memonopoli perdagangan rempah. Tak hanya itu, pihak VOC juga menerapkan manajemen ekspedisi yang lebih baik dibandingkan EIC.

Manajemen VOC berada di bawah kendali Gubernur Jenderal Gerard Reynst, meniru manajemen Viceroy (Gubernur Jenderal) dari Portugis di Goa, India. Ini tentu saja menjadi kekuatan tersendiri. Sedangkan pihak EIC, menurut Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya, masih menjalankan manajemen yang berbeda di setiap ekspedisi.

Menyadari posisinya sebagai “tamu” alias pendatang di wilayah yang dikuasai bangsa lain, Cockayne (EIC) menemui Reynst (VOC) di Benteng Nassau untuk beroleh izin berlabuh. Namun sang gubernur jenderal bersikeras menolak kehadiran pihak Inggris di Kepulauan Banda, mengacu hasil Konferensi Kolonial antara Inggris dan Belanda di London, pada 1613.

Sekalipun dicegah oleh Reynst, menurut Martine Julia van Ittersum, kenyataannya Ball dan Cockayne berhasil mencapai Pulau Ai dan berdagang dengan orang-orang kaya lokal. Lalu, mereka pergi dengan kapal Concord, pada akhir April 1615. Selanjutnya, pada September 1615, giliran kapal Speedwell di bawah kendali Sophony Cozucke dan Richard Hunt yang berlayar dengan muatan rempah.

Ada penumpang “istimewa” di pelayaran Speedwell. Ia tak lain seorang kaya dari Pulau Ai. Ia membawa surat dari orang-orang kaya Banda yang ditujukan kepada Keeling dan pimpinan EIC di Banten. Surat tersebut berisikan permintaan tolong kepada Monarki Inggris untuk mendukung orang-orang kaya Banda dalam menyingkirkan pihak Belanda dari Kepulauan Banda. Sebagai imbalannya, orang-orang kaya Banda akan berdagang rempah secara ekslusif dengan pihak Inggris.

Kapal Ngapulu Membawa Penumpang ke Banda
Kapal Ngapulu Membawa Penumpang siap merapat di pelabuhan Banda Neira. (Feri Latief)

Surat tersebut diterima oleh John Jourdain, Presiden EIC di Banten, pada Januari 1616. Tak butuh waktu lama, menurut Martine Julia van Ittersum, Jourdain segera mengirimkan empat kapal dan satu yacht ke Banda di bawah komando Samuel Castleton. Pada pertengahan Maret 1616, tim Castleton tiba di Kepulauan Banda.

Tanpa ampun, Castleton dan armada EIC segera menggempur sembilan kapal VOC yang dipimpin oleh Jan Dirkszoon Lam. Namun pertempuran tidak berlangsung lama lantaran Castleton dan Lam sejatinya bersahabat. Pada 26 Maret 1616, keduanya mengadakan perjanjian: pihak Inggris bersikap netral dalam peperangan antara Belanda dan orang-orang kaya Banda. Selain itu, Castleton dan armada EIC juga harus hengkang dari Banda.

Sebelas hari setelah kepergian Castleton, menurut Martine Julia van Ittersum, Lam menyerang Pulau Ai. Sebab Lam, selaku pimpinan VOC, mendapatkan informasi bahwa orang-orang kaya di Pulau Ai berniat menyerahkan pulau mereka kepada pihak Inggris. Akibat serangan Lam, banyak korban berjatuhan, terutama warga lokal.

Beberapa pekan kemudian, tepatnya pada 3 Mei 1616, pihak VOC di bawah pimpinan Lam mengadakan perjanjian dengan orang-orang kaya di Kepulauan Banda (di pulau-pulau yang ratusan tahun kemudian dikenal dengan nama Ai, Run, Hatta, Banda Neira—Kampung Labataka, dan Banda Besar—Lonthor, Selamon, Dender dan Prantatta).

Perjanjian tersebut menetapkan bahwa Kepulauan Banda telah ditaklukkan oleh VOC, masing-masing pihak tidak mencampuri urusan agama masing-masing, serta seluruh rempah yang dihasilkan di Banda hanya boleh dijual ke pihak VOC dengan harga yang ditentukan di perjanjian.

Selain itu, impor terutama beras dari Banten, Batavia (Jakarta), atau Jepara diwajibkan berlabuh di Lonthor dan Selamon dan di bawah pengawasan pihak VOC. Sesuai isi perjanjian tersebut, menurut Martine Julia van Ittersum, Lam menginstruksikan pendirian benteng batu di sisi utara Pulau Ai yang diberi nama Benteng Revenge.

Pulau Ai 03
Benteng Revenge dibangun pada 1683 di Pulau Ai. Di salah satu sisi dinding tertera tulisan: VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie, kongsi dagang Belanda. (Sanif Kohunusa)

Namun sebulan kemudian, pada awal Juni 1616, perjanjian Lam dengan orang-orang kaya Banda mulai mengendur. Orang kaya dari Pulau Run mendatangi Banda Neira dan menculik 34 laki-laki dan 50 perempuan dari Siau, Sulawesi Utara, yang dipekerjakan oleh VOC di perkebunan. Namun pihak VOC tidak merespon penculikan tersebut.

Sikap tak acuh VOC, sebagaimana dipaparkan oleh Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya (2016), lantaran tak ingin bertindak gegabah. Sebab jika VOC buru-buru bereaksi, bisa-bisa malah mengancam keselamatan pos dagang di Banda Besar, yang menurut mereka berada di wilayah musuh.

Begitu Belanda menaklukkan Pulau Ai, pihak Inggris—Richard Hunt dari EIC—melarikan diri ke Makassar, lalu ke Banten. Hunt mengabarkan kepada Jourdain, Presiden EIC di Banten, bahwa orang-orang Banda belum menyerah kepada VOC. Menurut Hunt, delapan hari sebelum serangan Lam ke Ai, warga lokal telah menyerahkan kedaulatan pulaunya ke Inggris dalam bentuk simbolis berupa tanah, kayu, dan batu.

Tak tinggal diam, Jourdain, sebagaimana diterangkan oleh Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya, segera mengirim ekspedisi Inggris berikutnya ke Banda di bawah pimpinan Nathaniel Courthope. Pada akhir 1616, Courthope memimpin kapal Swan dan Defence menuju Kepulauan Banda.

Tujuan ekspedisi Courthope kali ini: mencari pulau atau wilayah di Banda yang bersedia menjadi wilayah koloni Inggris. Setibanya di Pulau Run, pada akhir Desember 1616, Courthope langsung memperbarui perjanjian antara orang-orang kaya di Pulau Run dan Pulau Ai dengan Hunt yang dibuat pada akhir Maret 1616.

Untuk mengikat perjanjian tersebut secara simbolis, menurut Martine Julia van Ittersum, orang-orang kaya Banda melakukan serah terima pulau kepada pihak Courthope. Secara resmi, orang-orang kaya Pulau Run dan Pulau Ai menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Raja James I dari Inggris dengan syarat saling menghormati agama satu sama lain. Bendera Raja Inggris pun berkibar di atas kubu pertahanan orang-orang kaya di Pulau Ai.

Pulau Ai 02
Pulau Ai sekarang. Masjid Jami Nur Ai dipandang dari arah laut. (Sanif Kohunusa)

Lalu, bagaimana reaksi VOC atas peristiwa ini? Hasil riset Martine Julia van Ittersum menyebutkan, Steven van der Haghen, Gubernur VOC di Ambon, segera mengutus Cornelis Dedel untuk memimpin tiga kapal Belanda ke Banda, tak lama setelah mendengar kedatangan Courthope.

Bertepatan dengan perayaan Natal, 1616, kapal-kapal VOC terlihat melintasi perairan Pulau Run dan Pulau Ai. Dalam tempo tiga pekan, pada 13 Januari 1617, menurut Martine Julia van Ittersum, tiga kapal VOC di bawah pimpinan Cornelis Dedel sudah berlabuh di Pulau Run di dekat armada EIC, Swan dan Defence.

Oya, sedikit selingan: untuk diketahui, pihak Inggris tidak hanya memberikan nama Swan dan Defence untuk armada atau kapal, melainkan juga untuk benteng mereka. Sebagai pertahanan diri, tim Courthope membangun: dua bastion atau benteng di Pulau Run dan Pulau Nailaka yang masing-masing diberi nama Fort Swan dan Fort Defence.

Oke, kembali ke peristiwa berlabuhnya armada VOC di Pulau Run, pada awal 1617 itu. Pihak Inggris bersedia menerima Dedel, namun tidak membiarkannya merangsek ke dalam Pulau Run maupun Pulau Ai. Dedel diminta untuk segera angkat kaki dalam waktu dua jam setelah menerima surat dari pihak Inggris yang menerangkan tentang kepemilikan Inggris atas kedua pulau, Run dan Ai.

Dedel pun meninggalkan Pulau Run, setelah sebelumnya menyerahkan surat ultimatum, syarat yang harus dipenuhi dalam penyelesaian konflik bersenjata antarnegara Eropa. Dokumen tersebut kemudian disalin oleh sekretaris VOC di Benteng Nassau di Banda Neira. Sekali lagi, inilah salah satu bukti keunggulan bangsa Eropa yang begitu disiplin dan rapi dalam hal administrasi, dari pencatatan sampai pengarsipan atau pendokumentasian.

Sebagaimana diterangkan oleh Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya, pihak Belanda dan Inggris sama-sama mengutamakan dokumen tertulis sebagai bukti mereka telah menaati peraturan. Dokumen yang menjadi pegangan bagi EIC dan VOC saat bernegosiasi di Eropa itu kini disimpan di Arsip Nasional Inggris.

Selanjutnya, berselang sehari kemudian, pada 14 Januari 1617,  pihak Belanda mengajukan protes kepada pihak Inggris dalam Bahasa Prancis. Intinya: VOC telah menguasai Kepulauan Banda sekaligus membebaskan warganya dari tirani Portugis dan Spanyol. Karena itu, Belanda melakukan perjanjian dengan orang-orang kaya Banda untuk menjual rempah secara eksklusif.

Anak-anak pulau Run, dari kiri ke kanan: Febrianti (8 tahun), Olivia (10 tahun), dan Yuri Makole Lupung (7 tahun). Mereka mencari biji Pala yang tercecer di hutan. Biji Pala yang telah dikonsumsi burung Walor. Seperti kopi Luwak yang sudah dimakan luwak, buah Pala Walor pun begitu. Biji Pala asal dari kotoran burung Walor ini berkualitas tinggi.

Dalam protesnya, pihak Belanda juga meminta pihak Inggris untuk meninggalkan Pulau Run dengan membawa dua kapal, artileri, dan amunisi mereka serta berlabuh di Banda Neira. Jika pihak Inggris menyepakati hal tersebut, maka akan diperlakukan layaknya sahabat baik. Sebaliknya jika menolak, maka pihak Belanda akan menggunakan segala cara termasuk kekerasan untuk mengusir pihak Inggris. Demikian diterangkan oleh Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya.

Lalu, bagaimana sikap pihak Inggris? Adakah mereka mengindahkan protes yang dilontarkan oleh pihak Belanda? Tidak juga. Courthope dan orang-orang kaya Banda malah berancang-ancang melakukan perlawanan terhadap VOC, meskipun kekurangan air minum dan makanan. Bahkan Courthope dan orang-orang kaya Pulau Run mengerahkan tujuh artileri untuk persiapan pertahanan jika sewaktu-waktu pihak Belanda melancarkan serangan.

Taktik dan persiapan Courthope kian matang. Pada 28 Januari 1617, ia mengirim John Davis untuk membawa kapal Swan ke Pulau Banda Besar untuk mengisi persediaan air tawar. Sebagai tambahan, ia juga mendapatkan dukungan dari Desa Wayer di Banda Besar, juga dari sebuah pulau—yang tiga abad kemudian dikenal dengan nama Pulau Hatta—untuk bergabung dengan pihak Inggris, menggalang kekuatan untuk melawan VOC.

Dalam perjalanan pulang, Davis bertemu Dedel yang memimpin kapal Morgensterre. Pertempuran pun tak terelakkan. Satu setengah jam berlalu, korban berjatuhan di pihak Inggris: lima orang meninggal, tiga orang terluka parah, dan delapan orang luka ringan. Tidak ada korban di pihak Belanda. Kapal Swan diderek ke pangkalan VOC di Banda Neira dan awaknya ditahan di Benteng Nassau.

Dedel memberikan laporan kepada direktur-direktur VOC. Secara garis besar, tidak terdapat keraguan dalam penyerangan terhadap Swan, karena sebelumnya pihak Inggris telah diberi banyak peringatan dan ultimatum, namun tidak diindahkan.

Pada akhir Februari 1617, Courthope mengirim Robert Hayes ke Benteng Nassau untuk mempertanyakan alasan Dedel menahan Swan. Menurut jurnal Courthope, pihak Belanda menuduh pihak Inggris tidak memiliki andil dalam perang melawan tirani Portugis dan Spanyol. Pihak berwenang di Benteng Nassau berharap perseteruan antara VOC dan EIC dapat diselesaikan secara hukum di Eropa (baik di Belanda maupun Inggris), tanpa ada penundaan lagi.

Peninggalan Kolonial di Pulaiu Run
Reruntuhan bangunan berangka baja peninggalan kolonial Belanda di Pulau Run di Kepulauan Banda. (Feri Latief)

Kenyataannya, VOC tetap menjadikan Swan dan orang-orang Inggris di Wayer dan Pulau Hatta sebagai tawanan. VOC juga menyerahkan surat ultimatum kepada Hayes untuk segera meninggalkan Banda.

Tiga bulan kemudian, pada pertengahan Mei 1617, utusan dari Benteng Nassau menemui Courthope di Pulau Run dan menyerahkan surat dari Davis. Surat tersebut berisi saran agar Courthope melakukan negosiasi dengan pihak Belanda untuk mencegah pertumpahan darah, sebab bukan mustahil ada peluang merger antara EIC dan VOC.

Di surat itu juga Davis menghimbau agar Courthope membawa Defence berlabuh di Banda Neira dan menunggu hasil perundingan hukum di Eropa. Hasil kajian Martine Julia van Ittersum menyebutkan, sekalipun ditawan oleh pihak Belanda, Courthope dan awak kapal Swan diperlakukan dengan baik di Benteng Nassau.

Courthoupe tidak percaya bahwa surat tersebut ditulis oleh Davis dan menjawab utusan VOC bahwa ia harus bertemu dengan Davis dan awak kapal Swan untuk mempertimbangkan tawaran VOC. Ia juga tidak percaya bahwa awak kapal Swan selamat, karena terdapat info dari orang Banda yang melarikan diri dari Neira bahwa awak Swan telah dibunuh.

Courthope bersikeras mempertahankan Pulau Run sebagai bagian dari Inggris. Utusan dari Nassau dikirim kembali membawa surat dari Dedel dan Davis serta seorang awak Swan. Pada tanggal 21 Maret Courthope mengirimkan jawaban pasti kepada Nassau bahwa ia tidak berniat untuk meninggalkan Pulau Run (van Ittersum 2016:475).

Tiga hari berikutnya Courthope menurunkan persediaan dari Defence dan membawa kapal itu ke pantai. Pada 30 Maret, Defence—yang sudah kehilangan dua jangkar dan tambatannya—terbawa arus ke Banda Besar. Defence dan 20 awaknya terpaksa berlabuh di Neira dan menyerang kepada Benteng Nassau. Courthope menduga bahwa peristiwa tersebut adalah penghianatan yang disengaja.

Ketika peristiwa itu terjadi, Dedel sedang berada di Ambon karena terbawa arus ketika berlayar dari Banda Neira ke Pulau Run. Ketika kembali ke Banda, menurut Martine Julia van Ittersum dalam kajiannya, ia mendapatkan informasi dari awak Defence bahwa Pulau Run dipertahankan oleh 50-60 orang Inggris dan orang kaya Banda.

Maka terjadilah pertempuran sengit: orang-orang kaya Banda dan EIC melawan VOC. Siapa yang menjadi pemenangnya? Ikuti kelanjutan kisah bersejarah ini di artikel pemungkas Saksi Sejarah Kepulauan Rempah (Bagian 3).

Penulis: Yosua Pasaribu, arkeolog, domisili di Tangerang Selatan

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply