Follow Us On

Alif Ba Ta bersama Amaca

11Mengantar Anak Sekolah

Perempuan itu bernama Amaca alias Ci. Beliau adalah guru mengaji saya dan teman-teman—dua di antaranya Afri dan Imun. Berusia sekitar 60 tahun dengan postur tinggi dan langsing, rambut sebahu dan beruban. Sehari-hari, beliau mengajar mengaji di rumahnya yang megah, khas bangunan peninggalan kolonial Belanda.

Saya punya cerita menarik tentang Amaca. Di mata saya, sosok beliau memang istimewa. Kami berkerabat. Taha, suami Amaca yang biasa dipanggil Tua Ta, tak lain kakak kandung dari nenek saya. Pasangan Amaca dan Taha dikaruniai empat anak. Semasa hidup, Tua Ta pernah menjadi kepala desa Selamon, Banda Besar, Maluku Tengah.

Amaca memberikan beberapa ruang di rumahnya untuk dijadikan Tempat Pengajian Al Quran (TPA). Ada ruang untuk tes membaca Al Quran—yang bersisian dengan ruang tamu dan tiga kamar tidur, ada pula ruang lain untuk membaca Al Quran (mendaras atau mandras)—yang berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.

Rumah Amaca cukup unik dengan deretan jendela besar serta tembok kokoh—campuran batu kapur dan pasir gunung. Perabotannya, terutama kursi, terbuat dari bambu. Nah, di rerumputan di pojok belakang TPA terdapat batu keramat. Sesajen, aneka bunga, dan segelas air biasa diletakkan di dekat batu putih yang cukup besar itu.

Sekilas terkesan mistik, namun hal tersebut bukan masalah. Kami, bagian dari 40-an anak, dari SD sampai SMP, tetap tekun belajar mengaji bersama Amaca. Jadwalnya, dari Senin sampai Minggu—kecuali Jumat, mulai pukul satu siang atau sepulang sekolah. Jika libur sekolah, jadi full tujuh hari dalam sepekan, mulai pukul sembilan pagi.

Banda Juara Umum MTQ 2021 Maluku Tengah
Warga Banda Neira menyambut kedatangan khafilah MTQ 2021 dengan meriah. Tahun ini Banda menjadi juara umum MTQ tingkat Kabupaten Maluku Tengah. (Feri Latief)

Usai mengaji, kadang kami membantu Amaca mengerjakan tugas rumah, antara lain menjemur kenari, menumbuk pala (tepatnya, melepas biji pala dari kulit yang kering), dan menjual pisang goreng. Asyik, bisa mencomot kenari yang hampir terbelah atau kanari tabala akibat terkena paparan sinar Matahari. Rasanya enak sekali!

Sebagai guru mengaji, Amaca sangat galak. Tak jarang beliau menghardik, “Bodo sampe su tar kira-kira [Bodohnya sudah kelewat batas]!” Kami pun terdiam dan menangis. Tetapi kami tidak kapok! Esok hari, kami datang lagi ke TPA untuk belajar membaca Al Quran di bawah bimbingan Amaca. Terbata-bata lagi, dibentak lagi, menangis lagi.

Kami sadar, Amaca hanya galak di kelas. Lagipula wajar saja jika seseorang hilang kesabaran, lalu meluapkan emosinya. Toh di balik itu sesungguhnya Amaca ramah dan baik. Beliau tetap senang hati menerima dan mengajari kami membaca Al Quran. Begitu pun saat berpapasan di jalan, Amaca tersenyum, dan bersikap biasa-biasa saja.

Amaca kerap mentraktir kami jika ada peserta TPA yang selesai mengaji Juz Amma—juz ke-30, bagian terakhir Al Quran berisi surat-surat pendek—dan siap melanjutkan membaca keseluruhan kitab suci. Acara makan-makan ini disebut dulang. Biasanya sajian terdiri dari nasi kuning, perkedel, lauk ikan atau ayam, mi, acar, dan lain-lain.

Suatu kali, kami melihat Tua Ta datang dengan membawa pisang, singkong, dan daun singkong segar dari kebun. Sontak konsentrasi pun buyar, padahal kami sedang mandras. “Kamong lia apa? Ayo, lanjut mangaji sana anak-anak [Kalian lihat apa? Ayo, lanjutkan mengajinya],” kata Tua Ta, sembari berjalan ke dapur.

Wah, Tua Ta membawa banyak makanan, jangan-jangan bakal ada pesta, nih! Benar saja, usai mengaji, Amaca mengabarkan bahwa besok akan mengadakan dulang. Kali ini, yang “lulus” adalah Astriani, cucu dari Amaca dan Tua Ta. Kami pun kegirangan mendapat undangan dulang, membayangkan menyantap makanan yang enak-enak.

Khafilah MTQ Banda
Inilah para juara yang mewakili Banda  dalam lomba MTQ tingkat Kabupaten Maluku Utara. (Feri Latief)

Esok hari, kami datang ke TPA, tampak makanan sudah tertata rapi di atas meja bundar di ruang sebelah. Tetapi sebelum acara dulang dimulai, terlebih dahulu kami harus menjalani tes mengaji. Duh, perut sudah keroncongan dan pikiran pun susah fokus. Syukur, kami bisa menuntaskan tes mengaji, dan mendapatkan jatah kotak makanan.

Saat membuka kotak makanan itu, kami kaget: kok, tidak ada buah pisang yang kemarin dibawa oleh Tua Ta? Oh, ternyata pisang digoreng dan siap dijual. Dengan begitu, lebih banyak orang yang kebagian berkah dulang. Kebetulan saya, Afri dan Imun yang kebagian tugas berkeliling kampung untuk menjual pisang goreng.

Kami bertiga pun berbagi peran: Afri memegang baki (parten) atau wadah pisang goreng, Imun mengurus keuangan atau hasil penjualan, sedangkan saya menjadi “juru bicara” alias jubir. “Jual kukis pisang [Jual pisang goreng]!” saya memekik keras di siang bolong agar dagangan pisang goreng dibeli oleh warga kampung.

Tentu saja, bukan hal mudah membawa baki pisang goreng keliling kampung. Lama-lama, Afri merasa pegal. Suara saya juga jadi agak serak. Lalu, kami pun berganti peran. Giliran saya yang membawa baki, dan Afri yang menjadi “toa.” Berikutnya bergantian dengan Imun. Inilah kerja tim yang asyik, bisa di-rolling sesuai kondisi.

Ini bukan pertama kali kami berjualan pisang goreng. Jika jualan laris, kami mendapat upah—yang disebut sewa—dari Amaca sebesar Rp2.000 per orang. Biasanya, kami memakai uang sewa untuk membeli jajanan. Lain halnya jika jualan agak seret, Amaca memperbolehkan kami membawa pulang pisang goreng yang tersisa.

Begitu lah Amaca memang baik hati. Walaupun kegalakannya di kelas mengaji kadang membuat nyali menciut. Kami tidak ingin berhenti mengaji, tetapi ada kalanya beberapa di antara kami nekat membolos untuk menghindari sang guru ngaji killer. Tempat yang sering kami jadikan markas persembunyian adalah Pantai Tanah Gunung.

Anak Banda Belajar Mengaji
Anak-anak Banda Neira menunggu giliran untuk mendapat pelajaran mengaji dari gurunya. (Feri Latief)

Pantai ini bersisian dengan bukit yang memisahkan RT 1 dan RT 2 di Desa Selamon. Di sini, terdapat banyak pohon menjulang tinggi, juga banyak batu raksasa. Karena pepohonan dan bebatuan ini suasana pantai terasa lebih teduh walaupun di siang hari, juga terasa lebih sejuk. Kami pun betah berlama-lama duduk sambil ngobrol.

Begitu melihat beberapa kawan sudah pulang dari TPA, kami pun beranjak meninggalkan pantai. Meskipun tahu kami bolos mengaji, mereka tidak pernah mengadukan ke Amaca atau orang tua kami. Karena kadang mereka melakukan hal yang sama. Di sisi lain, tanpa ada pengaduan pun Amaca tahu siapa saja anak didiknya yang membolos.

Pastinya Amaca tidak tinggal diam. Beliau akan menghukum anak didik yang membolos: ada yang disuruh squat jump sepuluh kali, ada juga yang diperintah menimba dan mengisi bak mandi berukuran sedang. Jangan bayangkan letak sumur berdekatan dengan kamar mandi. Kami harus bolak-balik melewati beberapa rumah. Sungguh melelahkan!

Tetapi sekali lagi, Amaca sesungguhnya baik hati. Jelang Hari Raya Lebaran Idul Fitri, uang zakat fitrah yang terkumpul akan digunakan untuk membiayai hari raya tujuh atau biasa kami sebut labarang tujuh hari. Di salah satu hari, Amaca mengadakan piknik di Pantai Timraru, destinasi wisata favorit yang terletak di belakang desa kami.

Untuk mencapai Pantai Timraru, terlebih dahulu kami harus “berjuang” berjalan kaki melewati masjid, menaiki 200 anak tangga, lalu melintasi permakaman dan perkebunan pala. Fiuh, cukup melelahkan! Namun sesampainya di pantai, semua lelah itu terbayar dengan panorama indah: pantai berpasir putih, ombak bergulung kecil.

Anak Banda Pergi Mengaji
Di siang hari selepas pulang sekolah, anak-anak Banda Neira pergi untuk belajar mengaji. (Feri Latief)

Saya, tentu saja, merasa saat senang bisa berpelesir bersama Amaca dan kawan-kawan TPA di Pantai Timraru, yang bersebelahan dengan Pantai Lanutu. Sebetulnya tepian Pantai Lanutu lebih panjang dari Pantai Timraru, tetapi tidak terlalu banyak orang yang menyinggahi, karena masih berkeliaran hewan liar, salah satunya babi hutan.

Pantai Timraru memang favorit banyak orang termasuk saya, namun perairannya tak selalu ramah. Suatu hari, terjadi musibah yang menimpa anggota keluarga Mahdi dan Miranti, kawan sekaligus kerabat saya. Ayah mereka, Anahar atau biasa disapa Uda Nar, dinyatakan hilang saat melaut di perairan pantai ini, kemungkinan tewas tenggelam.

Hingga kini, jasad Uda Nar tidak pernah ditemukan. Musibah ini membuat kami berduka. Maka setiap kali menyinggahi Pantai Timraru, kami membawa bunga dan menaburnya di perairan, sembari mendoakan Uda Nar. Kami berharap tak ada lagi yang menjadi korban keganasan perairan pantai ini, baik nelayan, warga, maupun wisatawan.

Jadi boleh dikatakan di satu hari itu ada suka sekaligus duka kala berpiknik di Pantai Timraru. Berduka mengenang Uda Nar, dan bersuka menikmati kebersamaan dengan Amaca serta kawan-kawan TPA, juga ibu-ibu kami. Terlebih saat menyantap bekal: ikan papua bakar yang berdaging tebal plus cacolo (sambal) bawang yang enak!

Piknik pengajian menjadi semakin menyenangkan saat kami saling bertukar bekal makanan dan minuman, juga camilan kue-kue (sisa Lebaran). Tak lupa, kami—anak-anak—mandi aer garam (berenang di laut). Sementara ibu-ibu mengawasi kami di bibir pantai sambil mengiris daun kelapa, mengambil tulangnya—lidi—untuk dijadikan sapu.

Sembari berenang, saya dan kawan-kawan berburu potok, hewan laut yang berkulit seperti udang dan berkaki mirip kepiting. Sekilas lebih menyerupai kutu raksasa. Biasanya potok digoreng, lalu dimakan begitu saja atau dipadu nasi hangat. Saya sendiri sebenarnya kurang suka potok goreng, tetapi menikmati momen berburunya.

Masjdi Salamon di Banda Besar
Panorama senja di Desa Selamon, Banda Besar. (Feri Latief)

Usai berpiknik, pada keesokan hari, kami menjalani hari-hari seperti biasa: mengaji di TPA sepulang sekolah. Begitu seterusnya. Tak peduli, cuaca panas atau hujan deras. Suatu kali, saat musim hujan, atap kelas mengalami kebocoran, namun pengajian tetap diteruskan. Kami menaruh parten (wadah) bekas untuk menampung tetesan air.

Lama kelamaan, kebocoran atap semakin menjadi-jadi, kelas pun digenangi air. Lalu, Amaca memindahkan kami ke ruangan lain di rumahnya. Kebetulan area ruang tamu cukup luas, bisa menampung 40-an anak. Agaknya tak ada yang mampu menghentikan semangat Amaca untuk terus menghidupkan TPA dan menjadikan kami anak-anak saleh.

Amaca tetaplah Amaca yang killer, namun baik hati.

Penulis: Ferlita Rahman, mahasiswa di Banda Neira

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply