Kepulauan kecil dengan kekayaan besar. Inilah harta Banda yang tak ternilai, juga tak tertandingi. Boleh dikatakan, dari Sabang sampai Merauke, tak ada wilayah dengan kekayaan alam dan sejarah layaknya kepulauan di Maluku Tengah ini.
Memang, seberapa kecil sih, Banda? Data laman Wikipedia menyebutkan, luas kepulauan ini 172 kilometer persegi dengan wilayah administratif daratan 55,3 kilometer persegi. Bandingkan dengan tetangga: luas Pulau Ambon 743,4 kilometer persegi.
Sekalipun mungil, Banda memiliki kekayaan alam, dari pertanian, perkebunan—terutama rempah-rempah, gunung api, sampai surga bawah laut. Tambah lagi kekayaan sejarahnya, dari benteng sampai rumah-rumah bergaya kolonial.
Rumah-rumah tersebut ada di Banda Neira dan Banda Besar, beberapa di antaranya menjadi tempat pengasingan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Cipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri, yang kemudian diberi gelar pahlawan nasional.
Tentu saja, tak akan pernah cukup waktu untuk menyimak keseluruhan kisah tentang kekayaan alam dan sejarah Banda. Maka kali ini kita bahas salah satunya saja, yakni rempah-rempah—khususnya pala, yang dirangkum dari sejumlah literatur.
Menilik sejarahnya, Banda telah lama menjadi incaran para pedagang dan petualang dunia. Kepulauan di selatan Pulau Ambon, Provinsi Maluku, ini menjadi titik pertemuan berbagai suku bangsa dengan satu kepentingan yang sama. Apakah itu?
Tak lain kepentingan sebagai pemburu rempah. Salah satunya, pala (Myristica fragrans Houtt). Begitu berharganya si hitam manise ini, sampai-sampai pernah dijadikan mahar oleh Kapitan Timur yang diberikan kepada seorang putri dari perintis Banda.
Pala merupakan tanaman endemik di Kepulauan Maluku, termasuk Banda. Buah pala kuning kecokelatan, berbentuk mirip aprikot dengan rasa asam. Sedangkan biji pala cokelat kehitaman berselaput fuli merah yang juga memiliki berbagai manfaat.
Biji pala dan fuli sama-sama mengandung minyak atsiri yang menghasilkan salah satu komponen senyawa miristisin. Selain untuk bumbu penyedap masakan, biji pala juga digunakan untuk pengobatan, antara lain anti-inflamasi dan anti-oksidan.
Nama Alias Pala
Dahulu kala, saat diperdagangkan, nama asli biji pala seolah dirahasiakan. Entah apa alasannya, yang pasti inilah yang membuat biji pala memiliki nama lain yang unik: “kacang Malabar” di Timur Tengah dan “kacang dari Muscat” di Eropa.
Muscat tak lain ibu kota Oman, di Jazirah Arab. Saat para pedagang yang membawa biji pala tiba di pelabuhan Muscat, namanya menjadi “kacang Malabar” karena orang-orang Timur Tengah mengira biji pala berasal dari Malabar, India.
Lalu, ketika para pedagang membawa biji pala ke pasar Constantinople, ibu kota Kerajaan Roman/Bynzantine di Fatih, Istanbul, Turki, ia pun disebut “kacang dari Muscat” karena para pedagang dari Eropa mengira biji pala berasal dari Muscat, Oman.
Tak heran bila hingga kini, sebagaimana tercatat di sebuah literatur, namanya berbeda-beda di tiap wilayah: pala (Melayu, Jawa, Maluku), kuhipun (Pulau Buru), kapala (Bima), pala bai (Bugis), gosoro (Halmahera Utara), goroso (Ternate), pane (Seram).
Sementara di China, biji pala dikenal dengan nama rou dou kou. Sedangkan di Barat, antara lain disebut nutmeg, muscat nut, noz-moscada (Brazil, Portugis), nootmuskaat (Belanda), muscade (Perancis), muskatnuss (Jerman), noce moscata (Italia), muskat (Norwegia).
Diburu Berbagai Bangsa
Jual beli rempah pala sudah dimulai sejak ribuan tahun silam, seiring kedatangan pedagang asal China di Banda, pada abad ke-5. Kemudian disusul pedagang asal Melayu dan Jawa, pada abad ke-6-7, lalu bangsa India dan Timur Tengah, pada abad ke-8-9.
Berikutnya, pada Abad Pertengahan, giliran bangsa Eropa yang berdagang rempah di Banda. Hingga awal abad ke-19, Banda menjadi tujuan utama pelayaran rempah dunia. Sejak itu, berbagai narasi dan literasi dilahirkan dari kisah perburuan harta Banda: pala.
Saat sedang jaya-jayanya di pasaran dunia, sekitar abad ke-12-13 di Eropa, sempat merebak pemeo, “Segenggam biji pala lebih berharga dari segenggam emas.” Mengapa biji pala bisa begitu berharga? Tak lain lantaran khasiatnya yang luar biasa untuk pengobatan.
Ketika itu, era 1347-1351, Eropa dilanda pandemi hebat Wabah Hitam atau Maut Hitam (Black Death) yang berakibat fatal: menyebabkan kematian lebih dari 200 juta jiwa atau dua pertiga populasi Eropa. Lalu, terjadi juga epidemi di Asia dan Timur Tengah.
Nah, kalung biji pala dipercaya bisa menangkal penyebaran wabah yang disebabkan oleh bakteri dari gigitan kutu tikus yang menyebabkan infeksi. Aroma unik biji pala —dari komponen isoeugenol—dapat dimanfaatkan sebagai insektisida alami.
Selanjutnya, pada akhir abad ke-13, seiring runtuhnya kekuasaan muslim di Andalusia, komunitas otonom Spanyol, jalur perdagangan pala dan fuli kian mapan. Pala menjadi primadona rempah, dan pada saat yang sama, pamor Banda ikut melesat.
Semula, rute pelayaran menuju Banda, sebagai sentra utama penghasil biji pala dan fuli, diramaikan oleh para pedagang dari Timur Tengah, tetapi kemudian diambil alih oleh Portugis dan Spanyol. Sejak itu, ekspedisi pelayaran ke Banda pun meramai.
Kedatangan penjelajah asal Portugis dan Spanyol menjadi babak baru perdagangan rempah dunia dan disebut sebagai Abad Penjelajahan. Mereka disebut-sebut sebagai orang-orang Eropa pertama yang menjejakkan kaki di Asia Tenggara, pada awal abad ke-15.
Sejumlah literatur mencatat, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Kepulauan Banda, pada 1512. Penduduk Banda menyambut ramah para pendatang, baik dari Timur Tengah, China, maupun Eropa.
Terlebih para pedagang dari Timur Tengah dan China yang memberikan contoh berdagang yang baik: menggunakan nilai tukar emas dan perak. Namun tidak demikian halnya para pedagang asal Portugis yang berambisi menguasai pala.
Berperang Demi Pala
Ambisi untuk meraup keuntungan besar ternyata juga dibarengi konsekuensi besar. Kehadiran Portugis dan Spanyol di Kepulauan Banda pada abad ke-16 berbuah petaka: peperangan antara para pendatang dan penduduk lokal pun tak terhindarkan.
Keserakahan Portugis makin menjadi-jadi. Mereka membangun benteng di Banda Neira untuk mempertahankan diri sekaligus menghalau kedatangan bangsa lain. Namun kekuatan Portugis runtuh seiring kedatangan Belanda dan Inggris di Banda, pada awal abad ke-17.
Tidak berbeda dengan pendahulunya, kongsi dagang Belanda dan Inggris—masing-masing Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan East India Company (EIC)—juga berambisi memonopoli perdagangan pala dan fuli di Kepulauan Banda.
Inggris membangun pangkalan serta mengadakan perjanjian perdagangan, antara lain dengan Datuk Putih, tuan tanah di Pulau Rhun. Lalu, mendeklarasikan Pulau Rhun sebagai salah satu bagian persemakmuran Inggris Raya setelah Wales dan Skotlandia.
Tidak mau ketinggalan dengan Inggris, VOC-Belanda juga mengadakan perjanjian dengan para penguasa di kampung-kampung di Banda Besar dan Banda Neira. Mereka melakukan perdagangan pala dan fuli, serta membangun gudang dan pangkalan.
VOC-Belanda juga berperang melawan EIC-Inggris, pada 1616, yang berakhir dalam Perjanjian Breda, pada 1667, yang menyepakati pertukaran Pulau Rhun yang dikuasai Inggris dengan Niew Manhattan di Amerika Serikat yang dikuasai Belanda.
Namun lagi-lagi, keserakahan bangsa asing memicu peperangan dengan warga lokal. Selain berperang dengan para pedagang dan pasukan China dalam Spice War pada 1607-1622, VOC-Belanda juga melancarkan Perang Banda, pada 1608-1621.
Perang Banda berujung pembunuhan massal penduduk Banda secara brutal oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, pada 1621. Setelah serentetan perjanjian dan perang, Kepulauan Banda berada di bawah kendali VOC-Belanda.
Sejak saat itu hingga era Perang Dunia II, Belanda “menyulap” lahan di Banda menjadi perkebunan pala. Selama lebih dari tiga abad, periode 1621-1942, VOC-Belanda berkuasa di Banda Neira, terjadi berbagai perubahan besar yang signifikan.
Salah satu perubahan terjadi dalam tatanan masyarakat: berbagai etnis dari luar Maluku, terutama Melayu dan Jawa, didatangkan oleh Belanda ke Banda. Mereka tak lain tenaga kontrak, budak, dan tawanan perang, yang dipekerjakan secara paksa di perkebunan pala.
Akulturasi di Banda
Perburuan rempah serta kedatangan berbagai bangsa yang berlangsung selama berabad-abad di Banda tak sekadar mengukirkan sejarah, namun juga membawa perubahan besar. Akulturasi tak terbendung, wajah Banda pun tak lagi sama.
Sejalan dengan itu, terjadi pula asimilasi yang membuat orang Banda kehilangan banyak hal: suku yang merupakan identitasnya, adat budaya yang merupakan simbol jati dirinya, serta bahasa daerah yang merupakan kebanggaannya.
Tak dimungkiri, akulturasi dan asimilasi telah mengubah total tatanan dan budaya masyarakat setempat. Namun jika dipandang dari perspektif berbeda, justru kemajemukan inilah yang memperkaya Banda. Wajah Banda adalah wajah bhineka.
Harta Banda tak sebatas komoditas rempah-rempah, melainkan juga kebhinekaan. Kekayaan alam dan sejarah berpadu dengan kelimpahan suku, adat budaya, bahasa daerah, tata krama, dan sebagainya. Pluralisme khas bangsa Indonesia.
Harta Banda adalah gambaran nyata Negeri Rempah yang “gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.” Tentu saja kami—orang Banda—merasa bangga, karena kamilah sang pewaris dan penjaga harta Banda agar tetap lestari.
Penulis: Lookman A. Ang, warga Banda Neira berdarah Tionghoa.
Editor: Vega Probo