Follow Us On

Prasasti Lonthoir, Jejak Eksploitasi Pala di Banda (Bagian 1)

11
Harus diakui, cara nenek moyang kita meninggalkan jejak memang luar biasa. Mereka menggunakan medium, antara lain batu, yang tak lekang oleh waktu. Sehingga kita, yang hidup ratusan tahun kemudian, setidaknya bisa mengetahui apa yang terjadi pada masanya. Salah satu peninggalan batu yang menjadi kunci sejarah, yaitu Prasasti Lonthoir.
 
Tinggi Prasasti Lonthoir (baca: Lontor) tak lebih dari tinggi rata-rata orang Indonesia, 165 cm, dengan lebar 56 cm dan tebal 25 cm. Benda bersejarah ini ditemukan di desa bernama sama di ujung barat pulau Banda Besar, Maluku Tengah. Masyarakat Banda percaya, Lonthoir adalah salah satu kampung tertua dan dikeramatkan.
 
Apa yang tertulis di Prasasti Lonthoir hingga menjadikannya bersejarah? Tak lain hanya sebaris tulisan dalam Bahasa Belanda yang berbunyi, “Deesen steene paager is op geset bij orde van Jan van den Broeke, anno 1706” yang berarti, “Pagar pembatas batu ini dibuat atas perintah Jan van den Broeke pada tahun 1706.”
Prasasti Lonthoir sekarang berada di Ruang Relik Sejarah Museum Nasional, Jakarta. (Feri Latief)
Mengapa seonggok batu bisa begitu berdaya? Tentu saja, karena batu tersebut–Prasasti Lonthoir—adalah penanda batas perkebunan pala, rempah asli Kepulauan Maluku, saat sedang jaya-jayanya. Kini, menjadi sumber primer, bukti jejak sejarah masa lampau mengenai eksploitasi rempah pala di Kepulauan Banda, khususnya di Pulau Lonthoir.
 
Prasasti Lonthoir memiliki arti khusus bagi sejarah Indonesia. Prasasti ini merupakan bukti sejarah autentik, primer, serta kredibel dalam mengungkap sejarah penguasaan perdagangan pala serta invasi militer Belanda dan Portugis di Kepulauan Banda. Juga, menjadi bukti penjajahan serta keserakahan para penjajah terhadap inlander.
 
Lalu, siapa gerangan Jan van den Broeke? Diduga besar ia adalah keturunan dari Pieter van den Broeke, pedagang yang bertugas di Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang bangsa Belanda. Sebelum mengenal lebih jauh tentangnya, terlebih dahulu kita mengilas balik tentang pala dan kedatangan bangsa asing di Banda untuk menguasainya.
 
Pala (Myristica fragrans) adalah rempah-rempah yang populer di Eropa sejak abad ke-16. Pohon pala tumbuh di daerah beriklim tropis yang pada awalnya hanya terdapat di Kepulauan Banda, khususnya Lonthoir. Portugis adalah orang pertama yang membawa pala ke Eropa. Pada awal abad ke-17, bangsa Portugis terlibat dalam perang dagang dengan VOC.

 

Akhirnya, Belanda berhasil mengambil alih monopoli perdagangan pala. Pada 1621, Portugis dibunuh dan diusir Belanda di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen. Budidaya pala dibagi menjadi 68 “bedengan” atau perken yang disewakan kepada mantan karyawan VOC yang ingin menjadi petani pala yang disebut perkenier (perquenier).

Tentu saja, perkenier hanya boleh menyerahkan produknya kepada VOC. Sejak itu, dimulailah kisah para perkenier dengan pala dan VOC. Kehidupan perken diturunkan dari generasi ke generasi dan menciptakan “dinasti perkenier” (perkeniersdynastieen) yang berbeda-beda. Nah, salah satu dinasti perkenier yaitu Van den Broeke dari Lonthoir.

Bagian bawah prasasti ada pahatan tulisan yang kemungkinan berbahasa Portugis yang sudah tidak bisa terbaca. (Feri Latief)

Kembali ke soal Prasasti Lonthoir yang bertuliskan nama keturunan Van den Broeke, kala itu batu pembatas atau penanda perkebunan pala juga disebut padrao. Ini tercatat dalam beberapa literatur, antara lain buku Tijdschrift voor Indische Taal, Land En Volkenkunde yang diterbitkan di Batavia (Jakarta), pada 1923.

Di buku tersebut, tepatnya di bagian pembahasan berjudul Lijst der Aanwinsten van de Historische Verzamelling in 1922, disebutkan tentang prasasti atau padrao yang bertuliskan, “Deesen steene paager is op geset bij orde van Jan van den Broeke, anno 1706” itu.
Jika dilihat secara langsung, angka tahun yang dimaksud bukanlah 1706, melainkan 1705.

Prasasti ini terdiri atas 17 baris dan di bagian bawah terdapat tulisan yang kemungkinan berbahasa Portugis, juga gambar bola dunia serta angka tahun 1577 yang nyaris pudar. Lazimnya, padrao memang bergambar bola dunia. Kemungkinan prasasti ini dipahat di kemudian hari di pradao berlambang negeri Portugis yang sudah lebih dahulu ada.

Benda pusaka yang sebelumnya ada di sebuah perkebunan pala di Groot/Notenpark Walingen atau daerah Walang Besar di Distrik Lonthoir, Banda Besar, ini kemudian dihibahkan oleh Tuan W. Ph. Van den Broeke, seorang perkenier dari Banda kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
 
Untuk diketahui, di daerah ini terdapat dua parigi atau sumur kembar yang berusia ratusan tahun. Setiap delapan atau sepuluh tahun sekali sumur itu diupacarakan secara adat nan sakral. Nama upacaranya, Cuci Parigi atau membersihkan dua sumur kembar, itu yang telah memberikan air bersih kepada warga setempat.
Tari Cakalele dari Lonthoir yang disakralkan. Hanya dipentaskan pada acara-acara tertentu saja. (Feri Latief)
Prasasti Lonthoir menjadi satu-satunya bukti primer mengenai daerah Lonthoir. Ini merupakan cagar budaya yang sangat langka jenisnya, karena sejauh yang penulis ketahui tidak pernah ditemukan prasasti serupa yang berupa patok pembatas atau padrao yang ditulis berulang di tempat yang sama, tetapi dengan bahasa yang berbeda.
 
Sejak 23 Juni 1922, Prasasti Lonthoir menjadi koleksi Museum Nasional. Hingga kini, masih dalam kondisi baik dan ditempatkan di bekas ruang Relik Sejarah Gedung A. Lalu, bagaimana dengan pencatatan sejarah tentang Jan van den Broeke, sang perkenier di Lonthoir, dan generasi penerusnya? Bahasan tentang ini ada di artikel Bagian 2.
 
Follow terus HartaBanda.com, ya!
 
 
Penulis: Rully Handiani, sejarawan Museum Nasional Indonesia
Editor: Vega Probo
 
 

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply