Follow Us On

Merindukan Air di Pulau Ai 

11Pulau Ai 04

Tahukah kamu bahwa Pulau Ai (Ay) tidak memiliki satu pun mata air. Meski begitu, tanah tempat kelahiran saya yang terletak di sebelah barat Pulau Banda Neira, Maluku Tengah, ini cukup subur. Ada berbagai tumbuhan di daratannya yang seluas 500 hektare, termasuk pohon kenari dan pala di kebun milik ayah, Arsad Subuh.

Tanpa mata air, maka penduduk Pulau Ai yang berjumlah sekitar 2.000 jiwa harus memiliki bak penampung air bersih untuk persediaan, terutama di musim kemarau. Rata-rata kemarau terjadi dua kali dalam setahun, masing-masing selama empat bulan. Bahkan pada 1999, pernah terjadi kemarau terlama: sembilan bulan!

Terbayang kan, betapa sulit menghadapi hari-hari tanpa hujan di Pulau Ai. Perkara mandi, misalnya, saya dan kakak, Lilis Sariyanti, menggunakan air garam (air laut) di pantai. Lalu, kami bilas dengan air bersih (air tawar) yang sudah disiapkan oleh ibu di rumah. Itupun hanya satu gayung saja untuk kami berdua. Sedih, ya.

Pulau Ai 02
Masjid Jami Nur Ay dipandang dari arah laut. (Sanif Kohunusa)

Alhamdulillah, kemudian ada bantuan air bersih yang diupayakan oleh Camat Banda Kadir Sarilan. Bantuan yang sulit untuk dilupakan dan membuat saya sangat bersyukur ini didatangkan dari Pulau Banda Neira dan Pulau Banda Besar—yang memang memiliki mata air—ke Pulau Ai tiap seminggu sekali, kadang tiga hari sekali.

Setiap kali bantuan air bersih tiba di Pulau Ai, bisa dipastikan warga berebut, termasuk keluarga saya. Siapa cepat, dia dapat! Suatu kali, ayah sempat terlibat pertengkaran dengan tetangga yang biasa disapa Bapak Sadali, gara-gara memperebutkan air bersih yang dijual dengan harga Rp1.000 per lima liter dan Rp5.000 per 30 liter.

Lantaran keterbatasan dana, keluarga saya hanya mampu membeli 120 liter yang disimpan di satu tempat penampungan air bersih. Selain untuk minum dan masak, air bersih juga digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Ya, memang harus diirit-irit selama sepekan, agar persediaan air bersih yang langka ini tidak cepat habis.

Pulau Ai 01
Welvaren adalah bekas tempat tinggal pengawas perkebunan pala. (Sanif Kohunusa)

Beberapa tahun lalu, terbetik kabar akan dibangun sebuah embung di Pulau Ai. Penasaran, saya menyempatkan bertemu Asrul Sahmad, mantan sekretaris desa untuk mencari tahu siapa yang mengusulkan ini. Beliau pun mengatakan, “Mantan raja, Bapak Ahmad Dauru, yang usul serta dukungan dari masyarakat Pulau Ai.”

“Nah,” beliau menambahkan, “sekarang ini katong su sanang su tra susa aer lai.” Tentu saja, kami, warga Pulau Ai bersyukur dan bersuka cita menyambut usulan yang dilontarkan sekitar 2014. Namun embung berukuran 50 x 50 meter dengan kedalaman tujuh meter ini baru dibangun dua tahun kemudian, pada 2016.

Setahun berikutnya, pada 2017, embung yang berlokasi di kebun milik warga bernama Wajir (almarhum) ini diresmikan. Kala hujan, embung menampung curahan yang disebut air pecek yang lumayan bersih, bisa digunakan warga untuk mandi dan mencuci pakaian. Kini, warga tak lagi kekurangan air bersih walau kemarau panjang.

Pulau Ai 03
Benteng Revenge dibangun pada 1683. Di salah satu sisi dinding tertera tulisan: VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie, kongsi dagang Belanda. (Sanif Kohunusa)

Tahun lalu, pada 2020, Aksin Ladusu, kepala desa di Pulau Ai, mengusulkan bantuan mesin penyulingan air bersih agar layak minum. Syukur, bantuan segera datang, pipa-pipa segera terpasang, mengalirkan air bersih ke rumah-rumah warga, walaupun baru sebagian saja. Ini memberikan dampak sangat positif bagi warga.

Oya, sedikit cerita tentang warga Pulau Ai, sebagian bekerja sebagai nelayan, juga petani—pala, cengkih, kenari, buah-buahan, sayur mayur, dan palawija. Saya sendiri berprofesi sebagai guru honorer SMP Negeri 3 Banda, yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk para siswa kelas 8, setiap Senin, pukul 7.30 WIT.

Nah, membahas tentang pulaunya, Ai memang istimewa. Jika dilihat dari ketinggian dari arah Pulau Banda Besar (Lonthoir), bentuk Pulau Ai menyerupangi gantungan baju (hanger) atau pistol. Untuk mencapai Ai dari Banda Besar, bisa naik transportasi laut (motor laut) dengan tarif Rp50.000 pp dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Pulau Ai dari udara
Pulau Ai terlihat dari pesawat udara. (Feri Latief)

Tiba di Pulau Ai, saatnya untuk menjelajahi pantai berpasir putih, perbukitan, surga bawah laut, serta bangunan bersejarah dari Gerbang Matalenco, Masjid Jami Nur Ay, Rumah Adat Sairun, Benteng Revenge, sampai Welvaren. Saya sendiri pernah mengunjungi dua destinasi wisata yang disebutkan terakhir ini. Sungguh pengalaman yang seru!

Benteng Revenge dibangun pada 1683. Di salah satu sisi dinding tertera tulisan: VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie, kongsi dagang Belanda. Di sini, ada terowongan menuju ke pantai yang—sayangnya—sudah tertutup tanah (longsor). Ada pula dua buah meriam yang terletak di sisi timur dan barat benteng.

Sedangkan Welvaren adalah bekas tempat tinggal pengawas perkebunan pala. Selain tempat pengasapan pala (yang sudah rusak), di sini juga ada deretan 12 kamar tidur. Hingga kini, kamar tersebut masih dihuni oleh warga Pulau Ai yang sudah berkeluarga tetapi belum memiliki rumah sendiri, termasuk adik saya, Damayanti.

Puncak Gunung Api Banda
Seorang pengunjung di puncak Gunung Api Banda memotret pulau Ai dan Run yang terlihat di kejauhan. (Feri Latief)

Dengar-dengar dari salah seorang kenalan bernama Rati, suatu kali, artis Nikita Willy pernah menyambangi Pulau Ai. Sejenak terjadi kegemparan kala sejumlah warga meminta berfoto bersama sang idola, juga mengajaknya berjalan-jalan di pantai. Tak lama, sang artis pamit untuk melanjutkan pelayaran bersama rombongannya.

Usai menyimak cerita Rati, saya pun kembali bercengkerama dengan suami, Salamat Lasiki, dan anak, Hilmatu Nafisah Lasiki. Namun tiba-tiba terjadi kegemparan lagi! Rupanya dapur pengasapan pala milik tetangga mengalami kebakaran. Untung bisa segera ditangani, walaupun sangat disayangkan pala yang baru saja dipanen jadi hangus semua.

Ah, kehidupan di pulau mungil Ai memang penuh dinamika!

 

Penulis: Asti Arsad, guru honorer SMP Negeri 3 Banda

Foto Cover: Sanif Kohunusa, warga Banda Neira

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply