Follow Us On

Para Bocil Kesayangan

11Anak Banda Pergi Mengaji

“Apakah kamu bersedia kerja di sini atau tidak?” Saya tidak bisa melupakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu Fatimah, Kepala SDN 247 (dahulu SDN 2) Banda  Neira, Maluku Tengah, lima tahun silam. Pertanyaan yang kemudian saya jawab, “Ya, saya bersedia,” dan mengubah jalan hidup saya hingga hari ini.

Semula, beliau meminta saya untuk menjadi petugas perpustakaan. Tetapi jika ada guru mata pelajaran tertentu yang berhalangan hadir, saya menjadi guru ad interm yang bisa menggantikannya. Saya pun menerima dan menyanggupi untuk melaksanakan semua tugas yang dimandatkan Ibu Fatimah kepada saya.

Tak terbayangkan saya akan menjadi bagian dari sekolah ini. Sekolah yang saya lihat sepuluh tahun lalu saat pertama kali menjejakkan kaki di Banda Neira. Pertama kali juga naik KM Tidar dari Kota Ambon bersama mama dan papa. Sepanjang pelayaran, mama bercerita tentang Gunung Api, Rumah Biru, Gunung Papan Berek.

Tiba di Banda Neira, kami disambut oleh kenalan orang tua, Pak Hasem, yang saya panggil Bapak Ca. Saat melewat SDN 247, beliau bertanya, apakah sekolah ini sama dengan sekolah di Ambon? Saya menggelengkan kepala dan menceritakan tentang sekolah di Ambon yang rata-rata berdinding tembok, bukan kayu seperti SDN 247.

Lebih jauh, Bapak Ca menuturkan tentang kondisi sekolah yang merupakan peninggalan kolonial Belanda tersebut, dengan kursi-kursi kayu yang kokoh dan antik. Saya tertarik ingin melihatnya, “Beta mo liang akang do.” Tetapi Bapak Ca melarang, sebab masih ada kegiatan di kelas. “Eh, tra bisa, orang ada belajar,” kata beliau.

Siapa nyana, sepuluh tahun kemudian, saya bekerja di SDN 247. Setelah sebelumnya mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dari sepupu, Selvira, yang bekerja sebagai guru di sekolah itu. Hingga saya dipertemukan dengan Ibu Fatimah, pada Oktober 2016. Selanjutnya memulai tugas baru sebagai penjaga perpustakaan.

Sehari-hari, saya bekerja mulai pukul 7.15 sampai 12.30 WIT. Tugas saya sebagai penjaga perpustakaan, antara lain membersihkan ruangan perpustakaan, mengatur buku di rak, membuat jadwal kunjungan, membuat nomor buku, dan membuat kartu peminjaman. Suatu hari, ada guru yang absen, saya pun menggantikannya.

Anak-anak Banda Belajar Yoga
Sukarelawan dari Heka Leka Ambon, memberi pelajaran yoga kepada anak-anak Banda Neira. (Feri Latief)

Inilah kali pertama saya menjadi guru SDN 247. Ternyata, seru juga. Banyak pengalaman yang tak terlupakan, baik saat berkegiatan di dalam maupun luar kelas. Seringkali saya dibuat takjub dengan polah dan tingkah para murid. Selalu ada saja kejutan dari para bocah kecil alias bocil, dari yang membuat saya terbahak sampai terharu.

Saya juga sempat terheran-heran saat mendengar pengakuan dari para bocil. Ternyata selama ini mereka tidak tahu tentang buku paket. Yang mereka tahu hanya buku besar (Lembar Kerja Siswa atau LKS) dan buku kecil (buku tulis). Meski tanpa buku cetak, mereka mampu menjawab pertanyaan atau soal tertulis yang saya berikan.

Suatu hari, saya melihat—tepatnya, mengintip dari balik jendela—seorang murid perempuan tampak asyik bermain di belakang perpustakaan. Dari gerakan tubuhnya, ia seolah bermain sekolah-sekolahan: ia sebagai guru dan pepohonan katuk sebagai murid-muridnya. Karena belum jam istirahat, saya spontan menegurnya.

“Nak, kenapa kamu bermain sendiri di situ dan tidak belajar? Masuk kelas sana! Nanti kamu dimarahi gurumu.” Mendengar teguran saya, si murid kaget dan langsung berlari. Saya pun mengikuti dan ternyata dia adalah murid dari Selvira. Saya menunggu sampai jam pelajaran berakhir untuk mendiskusikan si murid dengan sepupu saya itu.

Ternyata, menurut Selvira, si murid tidak meminta izin kepadanya untuk meninggalkan kelas. Selvira bercerita, selama ini, si murid kerap menunjukkan “keanehan” antara lain sering datang terlambat dan hanya diam ketika ditanya alasannya. Suatu kali, ia datang dengan muka lebam-lebam. Lagi-lagi, ia diam seribu basa.

Lalu, seorang guru tak sengaja menyentuh pundak si murid dan ia merintih kesakitan. Guru segera memeriksa tubuhnya dan ternyata juga lebam-lebam. Kali ini, ia tak lagi diam. Sembari terisak, ia menceritakan, “Bapak sedang mabuk dan bapak memukul ibu saya. Saya melerai, tetapi bapak malah mengangkat dan memukul saya.”

Pengakuan si murid membuat saya prihatin. Saya ingin menolong dan bukan hanya si murid seorang, karena saya pikir, pasti ada murid lain yang juga mengalami kekerasan di rumah, dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Saya meminta izin kepada kepala sekolah untuk memberikan konseling bagi tiga anak yang bermasalah ini, dan disetujui.

Hari pertama konseling diadakan di perpustakaan. Aduh, saya sempat kewalahan. Tetapi saya tidak mau menyerah! Saya semakin tertantang untuk memahami karakter masing-masing anak. Saya berbicara dengan intonasi pelan, merayu ketiga murid istimewa ini untuk sejenak duduk tenang. Ternyata sungguh tidak mudah.

Anak-anak Banda berenang di senja hari
Alangkah bahagianya anak-anak Banda bisa mengisi sore hari dengan berenang di laut. (Feri Latief)

Saya mengerti, ketiga anak ini membawa beban mental begitu berat dari rumah yang membuat mereka tidak bisa fokus dan konsentrasi di sekolah. Sehingga sulit bagi mereka untuk menyamai kemampuan teman-teman sekelas. Dengan penuh kesabaran, saya mengajari mereka dari mengenal alfabet sampai menulis.

Lumayan, di hari-hari berikutnya ketiga murid bisa mengingat lebih banyak huruf dan kata, bahkan salah seorang di antara mereka dapat menulis dengan lebih baik. Saya pun memberikan hadiah bagi mereka yang mampu membaca sebuah buku, maka buku itu boleh dibawa pulang dan menjadi milik mereka. Ketiganya kegirangan.

Sebagai guru, tentu saja saya memperhatikan dan menyayangi semua murid. Namun ketiga murid yang mengikuti konseling dan pelajaran khusus bersama saya ini istimewa. Tak dimungkiri, merekalah bocil kesayangan saya. Saya akan menceritakan kenangan satu per satu—tanpa perlu menyebut nama, demi menjaga privasi mereka.

Sebut saja, si murid pertama, anak perempuan berambut sebahu yang gemar menggambar. Setiap kali saya memberikan kertas untuk menulis, ia malah membuat gambar seorang guru di depan papan tulis. Begitupun ketika saya meminta ia untuk membaca, ia justru melihat gambar dan bercerita sesuai imajinasinya—tidak sesuai teks.

Berbeda halnya dengan si murid ke-dua, anak laki-laki yang bongsor dan dikenal kajahatang (nakal). Setiap kali dipanggil oleh guru, ia tidak mau menoleh, apalagi menjawab dengan santun. Ia juga kerap berkata kasar yang tidak pantas diucapkan oleh anak SD seusianya. Saya sempat gentar mengajar si murid ke-dua ini di kelas khusus.

Walau sedih, saya tetap bersemangat mengajar. Dua minggu berlalu, si murid ke-dua menunjukkan perkembangan baik: ia bisa membaca dan menulis, bahkan tulisannya cukup rapi, tidak keluar dari garis batas tepi. Setelah lancar membaca dan menulis, si murid ke-dua diperkenankan kembali ke kelas regular, tidak lagi di kelas khusus.

Nah, murid ke-tiga beda lagi perangainya. Ia, anak laki-laki yang juga bertubuh bongsor. Menurut wali kelasnya, ia sering bermain di rumah dan tidak mau belajar. Benar saja, saat saya memintanya untuk membaca, ia hanya melihat buku bacaan anak-anak, lalu diam. Saya pikir, saya perlu mengubah pola pembelajaran untuknya.

Sebelum mengajar, saya memberikan beberapa huruf berbeda warna kepada si murid ke-tiga, lalu saya meminta ia memilih warna favorit dan ia memilih hijau. Ternyata ia bisa mengenali huruf yang hijau dan tidak tahu huruf yang berwarna lain. Lama kelamaan, dia bisa menghafal huruf, menulis dan membaca, bahkan lulus SD!

Saya senang melihat perkembangan ketiga murid di kelas khusus ini. Pihak sekolah juga mengapresiasi kesabaran dan kemampuan saya mengajari tiga bocil sampai berhasil. Ibu Fatimah, selaku kepala sekolah, mengangkat saya menjadi guru mata pelajaran, bukan lagi guru ad interm. Tentu saja, saya menerima tugas mulia ini!

Ingatan saya pun melayang ke masa silam: saat pertama kali menjejakkan kaki di Banda Neira dan melewati SDN 247. Lalu, sepuluh tahun kemudian, pada 2016, saya menjadi bagian dari sekolah ini. Tahun demi tahun berlalu, saya tetap ingin ada di sini, mengabdikan diri di dunia pendidikan, dan selalu dekat dengan para bocil kesayangan.

Penulis: Nurul Huda Asri Khouw, guru honorer di Banda Neira

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply