Follow Us On

“Squid Game” ala Banda

11Anak-anak Banda Senam Pagi

Sudah menonton Squid Game kah? Jika ya, kamong pasti tahu tentang serial drama asal Korea Selatan (drakor) tentang sejumlah orang yang berkompetisi dan bertaruh nyawa demi meraih hadiah 45,6 miliar won ini. Saya bukan hendak me-review, namun saya sungguh tertarik idenya mengangkat permainan anak-anak tradisional.

Tak hanya Korea Selatan, Banda juga punya permainan anak-anak tradisional. Saya ceritakan satu per satu, ya, dimulai dari sepak bola api. Permainan ini boleh dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Semasa kecil kerap memainkan bersama teman-teman—dua di antaranya Ian dan Nyong—pada malam hari di halaman rumah saya.

Mula-mula, kami mengambil batu apung berukuran agak besar, kemudian direndam dalam minyak tanah, lalu diangkat, selanjutnya dibakar dan dijadikan bola api. Tanpa alas kaki, kami menggiring dan menendang bola api ke gawang lawan yang dibatasi oleh susunan sendal-sendal. Tentu saja, kami harus berhati-hati agar kaki tidak melepuh.

Woeee… opor eee!” Nyong berteriak penuh semangat. “We we weee… tada capaaat!” saya memekik nyaring. Saya mengoper bola ke Nyong, lalu ia menggiring ke gawang yang dijaga oleh Ian. “Goool!” Tendangan maut berujung kemenangan. Kian malam, permainan sepak bola api tanpa wasit ini makin seru dan suasana pun tambah ramai.

Tak terasa sudah pukul sembilan malam. Sebagian pemain pamit pulang, lantaran dijemput oleh orang tuanya. Saya sendiri juga dipanggil oleh kakek yang datang dengan membawa tongkat rotan. Melihat itu, saya lari terbirit-birit, dan setibanya di rumah buru-buru mencuci kaki tangan, lalu masuk kamar, sebelum kena pentungan.

Selain sepak bola api, saya dan teman-teman juga suka bermain bola-bola tanah. Untuk memainkannya harus rela berkotor-kotor. Pertama, ambil tanah basah, lalu dibentuk bulat seperti bola kasti, kemudian dilumuri abu di pekarangan rumah, atau bisa juga abu di tungku, sisa pembakaran kayu usai digunakan ibu untuk memasak.

Lomba Renang Anak-Anak Banda
Setiap tahun rutin dilakukan lomba renang anak-anak Banda. Lomba dimulai dari Pulau Gunung Api Banda dan beraklhir di halaman belakang Hotel Maulana, Banda Neira.

Ada teknik tersendiri agar bola tanah lebih liat, yakni: melumuri abunya tak hanya sekali, melainkan berkali-kali atau berlapis-lapis. Setelah jadi, saya segera mencari lawan untuk beradu satu lawan satu. Cara memainkannya: bola tanah ditimpuk bola tanah lain. Begitu terus sampai ada pemenangnya: bola tanah yang utuh, tidak pecah.

Seru, ya! Tetapi tidak demikian di mata ibu dan nenek saya. Saat melihat saya belepotan tanah, beliau pun marah, “Stop maeng barang badaki itu, pulang mandi capat. Jang beta labrak kamong samua!” Permainan bubar dan saya pulang. Sampai di rumah, giliran nenek ngomel dan menjewer telinga saya sampai ke kamar mandi.

Baiklah, kita pilih permainan yang aman-aman saja, ya. Ada yeye atau lompat tali. Nah, talinya ini terbuat dari rangkaian karet gelang yang dijalin panjang. Biasa dimainkan oleh tiga anak perempuan atau lebih. Tak jarang, saya main yeye sendirian, dengan mengikatkan ujung tali di batang pohon. Saking asiknya, saya sampai lupa waktu.

Eee… anak pulang sini! Tinga barmaeng trus sampe lupa ruma,” seru ibu saya dengan suara lantang. Sontak, kegiatan bermain pun stop. Begitulah, ibu sering memarahi saya karena terlalu asyik bermain sampai-sampai malas ke sekolah, atau terlambat pergi mengaji. Begitu tiba di rumah, sekitar magrib, pasti saya kenal omel ibu.

Walau demikian, saya tak kapok bermain. Beranjak remaja, tepatnya saat duduk di bangku SMA, saya gemar main patek-patek. Mainan pistol-pistolan ini terbuat dari batang bambu seukuran sedotan dengan panjang 30 cm, plus anakan patek-patek untuk mendorong peluru dari biji jambu atau kertas yang dibikin bulatan kecil-kecil.

Seru sekali! Kami jadi prajurit-prajuritan, main perang-perangan bersenjatakan patek-patek. Dor! Lawan terkena tembakan peluru biji jambu. Oya, yang boleh ditembak hanya bagian badan ya, jangan kepala. Biasanya, kami bermain patek-patek di halaman rumah. Nah, kalau yang biasa kami mainkan di halaman sekolah, beda lagi jenis game-nya.

Anak-anak Banda berenang di senja hari
Anak-anak Banda mengisi sore hari dengan berenang di laut. (Feri Latief)

Saat istirahat—30 menit, saya dan teman-teman sering main benteng dan uliyase. Lazimnya, permainan benteng dilakukan oleh sepuluh orang, laki-laki maupun perempuan, atau lebih. Lalu, dibagi dua kelompok, masing-masing lima orang. Lalu, tiap kelompok meletakkan sebuah batu dan dijaga agar tidak diambil oleh lawan. Permainan dimulai!

Saya sekelompok dengan Nona, Andi, Yadi dan Supri. Semula kami berhasil unggul, bisa mengambil sebagian anggota tim lawan—Sandi dan kawan-kawan. Tetapi gara-gara lengah, Nona diambil oleh tim lawan. Kami berusaha mengambil Nona dan sisa anggota tim lawan. Tak terasa 30 menit berlalu, pertahanan melemah, dan tim saya pun kalah.

Begitulah permainan, menang atau kalah itu hal biasa. Meskipun terkesan main-main, sesungguhnya permainan memiliki sisi positif: melatih bersikap sportif dan berpikir taktis. Juga pastinya: menyenangkan dan menghibur. Maka kami selalu mengising waktu luang untuk bermain, baik di rumah, di sekolah, bahkan di tempat mengaji.

Usai mengaji, saya dan teman-teman biasanya melipir agak jauh untuk bermain congklak tanah. Untuk bisa memulai permainan ini, terlebih dahulu kami menggali tanah dan membuat belasan lubang kecil. Setelah lubang jadi, kami mencari kerikil kecil untuk dijadikan biji congklak tanah yang mirip permainan dakon di Jawa.

Bayangkan betapa kotor tangan kami usai main congklak tanah. Karena itu, kami sengaja memainkannya agak jauh dari tempat mengaji agar tidak dimarahi oleh guru ngaji, tete Ali. Walau sering dimarahi, bahkan tak jarang dipukul di bagian jemari, tetapi saya dan teman-teman tidak kapok. Besoknya, kami main lagi, berkotor-kotor lagi.

Jika bosan, kami ganti permainan lain: uliyase. Ada dua tim, masing-masing terdiri dari empat orang, laki-laki maupun perempuan. Suatu kali, saya pernah satu tim dengan Sandi, Yadi, dan Emi. Semua berjaga-jaga: Yadi di garis pertama dan garis tengah sampai tumbak, saya di garis ke-dua, Emi di garis ke-tiga dan Sandi di baris belakang.

Bermain di pantai
Mengisi senja sambil menunggu ibadah maghrib, anak-anak Banda bermain di pantai. (Feri Latief)

Ini dia tantangannya: tim lawan harus bisa melewati garis atau memasuki bidang persegi, tanpa menyenggol tim yang menjaganya. Pada saat yang sama, kaki tim penjaga harus tetap berada di garis, tidak boleh meleset. Anggota tim lawan yang berhasil lolos melewati garis depan sampai belakang, lalu kembali lagi ke depan, itulah yang menang!

Tak kalah seru, permainan dolip. Sepintas mengingatkan pada permainan lampu merah-lampu hijau di drakor Squid Game. Hanya bedanya, satu orang berlari mengejar teman-teman, begitu menangkap salah seorang, ia  berseru, “Dolip tidak dolip, bergerak mati, minta nas mati menjadi patong.” Spontan semua mematung.

Jika ada yang bergerak, dialah yang mendapat giliran mengejar teman-teman. Lucunya, ada aturan main yang meringankan: sekira ada yang kelelahan dan tidak kuat berlari, tinggal berteriak, “Dolip!” sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir dan tidak bergerak. Untuk sementara ia terbebas dari “tugas” mengejar teman-teman.

Jika mengingat dan melihat permainan anak-anak tradisional, rasanya ingin mengulangi. Namun entah, apakah teman-teman sebaya saya—yang kini berusia 20-an tahun—masih berkenan (atau masih kuat) melakukannya lagi. Agaknya mereka juga sudah beralih ke permainan digital atau game online di handphone atau laptop.

Saya perhatikan, dari anak-anak sampai orang dewasa kini lebih suka bermain game Freefire, PUBG, dan Mobile Legends. Kadang saya takjub melihat tingkah mereka saat asyik memainkan game online itu: berteriak heboh, sembari tatapan mata tidak terlepas dari layar gawai, dan jemari pun tetap lincah memainkan joystick.

Saya sendiri suka main game klasik versi online macam onnet atau ludo, bersama teman-teman. Jika salah seorang di antara kami kalah, maka wajah diolesi bedak oleh yang lain. Terbayang kalau kalah berulang kali, seluruh wajahnya memutih seperti moci. Siapa pun yang melihat pasti terpingkal-pingkal. Sungguh momen yang menghibur.

Penulis: Megawati Pelupessy, warga Banda

Editor: Vega Probo

Author

  • Berawal dari workshop fotografi Jalur Rempah Banda Neira 2021, hadirlah website ini dengan tujuan agar karya-karya foto anak-anak Banda dapat berguna dan menjadi jendela bagi warga dunia untuk melongok ke dalam Banda. Tulisan dan foto-foto oleh warga Banda dan pemerhati Banda.

Related Posts

Leave a Reply